Ormas yang tidak mematuhi ketentuan hukum, atau yang terlibat dalam kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk pembubaran.
Permendagri No. 57/2017 Pasal 41 ayat 2 mengatur bahwa Gubernur melalui Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik di provinsi melakukan pembinaan dan pengawasan Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum di daerah provinsi dalam wilayahnya.
Baca Juga:
Rapat Monitoring Bersama Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Rakor Pasca Pilkada Serentak 2024 di Papua Barat Daya
Kesenjangan Pembangunan dan Akses Salah satu tantangan terbesar bagi ormas di Papua Barat Daya adalah kesenjangan pembangunan yang sangat besar antara daerah pesisir dan pedalaman.
Infrastruktur yang minim, serta terbatasnya akses informasi dan teknologi, menjadi kendala bagi ormas untuk berkembang dan menjalankan program-program pemberdayaan secara maksimal.
Banyak ormas yang terhambat dalam mengakses sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan mereka, seperti dana, fasilitas pelatihan, atau jaringan yang lebih luas.
Baca Juga:
Badan Kesbangpol Papua Barat Daya Gelar Bimbingan Teknis (Bintek) Kearsipan
Lebih lanjut, Sellvyana Sangkek mengatakan keberagaman budaya dan agama yang sangat tinggi di Papua Barat Daya dapat menjadi sumber konflik sosial, terutama ketika perbedaan ini tidak dikelola dengan baik.
"Ormas yang ada perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya dialog antarbudaya dan antaragama, serta mampu menyelenggarakan kegiatan yang memperkuat rasa persatuan dan kesatuan," pungkasnya.
Kapasitas Ormas yang Belum Merata Kapasitas ormas di Papua Barat Daya masih sangat bervariasi. Banyak ormas yang kurang memiliki sumber daya manusia yang terlatih dalam hal pengelolaan organisasi, pengelolaan keuangan, maupun dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Selain itu, banyak ormas yang kurang memahami regulasi yang berlaku, sehingga kesulitan dalam menjalankan aktivitas mereka secara sah.