Kritik Substansi dan Orientasi Kebijakan
Institut USBA menilai bahwa akar masalah pembangunan Papua tidak terletak pada kurangnya lembaga, tetapi pada ketimpangan ekonomi, ketidakadilan fiskal, dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat.
Kebijakan percepatan yang hanya diukur melalui proyek infrastruktur dan investasi tanpa memperhatikan dimensi sosial, budaya, dan ekologis akan terus melahirkan pembangunan tanpa manusia, bukan pembangunan untuk manusia.
Baca Juga:
Dari Wawonii ke Raja Ampat: Menuju Moratorium Bijak untuk Menyelamatkan Pulau-Pulau Kecil dan Masa Depan Ekonomi Indonesia
“Masalah Papua tidak akan selesai dengan menambah nama lembaga baru. Yang dibutuhkan adalah koreksi terhadap desain pembangunan yang gagal memahami akar masalah,” tegas Imbir.
Berikut Rekomendasi Institut USBA
1. Cabut Keppres No. 110P/2025.
Keppres ini bertentangan dengan semangat dan arsitektur hukum Otsus. Pemerintah harus menghentikan semua pembentukan lembaga baru di luar mandat UU hingga ada evaluasi publik yang independen.
2. Revisi UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
Revisi perlu memastikan BP3OKP berada langsung di bawah Presiden agar memiliki otoritas kuat dan independen, serta menghindari tumpang tindih kelembagaan.
Baca Juga:
Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Sentralisasi Baru dan Krisis Ekologis di Tanah Papua
3. Lakukan Audit Politik dan Kelembagaan terhadap BP3OKP.
Audit tidak hanya administratif, tetapi juga harus mencakup legitimasi sosial dan politik untuk memastikan representasi dan kepentingan Orang Asli Papua (OAP) benar-benar terakomodasi dan terartikulasi.
4. BP3OKP Harus Melibatkan Orang Asli Papua (OAP) dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Musyawarah Besar Adat Papua. Ini penting agar pengawasan dan arah kebijakan mencerminkan aspirasi masyarakat adat Papua secara autentik.
5. Hentikan Pola Sentralisasi Berkedok Percepatan.