Pembentukan lembaga baru di luar UU Otsus dan tanpa revisi terhadap Perpres sebelumnya adalah bentuk ketidaktaatan terhadap prinsip hukum positif.
Hal ini menciptakan:
• Preseden buruk bagi sistem kelembagaan nasional;
• Inkonsistensi kebijakan publik;
• Risiko kebocoran fiskal dan lemahnya pengawasan pembangunan.
Baca Juga:
Dari Wawonii ke Raja Ampat: Menuju Moratorium Bijak untuk Menyelamatkan Pulau-Pulau Kecil dan Masa Depan Ekonomi Indonesia
“Setiap kali struktur baru lahir tanpa refleksi kritis atas kinerja yang lama, maka pembangunan hanya menjadi siklus administratif tanpa substansi transformasi sosial,” ungkap Imbir.
Relevansi terhadap Amanat UU Otonomi Khusus
Keppres 110P/2025 perlu diuji terhadap semangat dan amanat UU No. 2 Tahun 2021, yang menegaskan bahwa pelaksana utama Otsus adalah BP3OKP.
Baca Juga:
Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Sentralisasi Baru dan Krisis Ekologis di Tanah Papua
Jika Komite baru dibentuk karena BP3OKP dianggap belum efektif, maka langkah perbaikan internal seharusnya diutamakan daripada membentuk lembaga baru yang justru memperkeruh sistem koordinasi.
Pemerintah seharusnya menilai efektivitas kebijakan berdasarkan kesejahteraan masyarakat Papua, bukan pada seberapa banyak lembaga yang dibentuk.
Setiap inisiatif baru harus terbukti memberikan dampak nyata bagi rakyat Papua, bukan sekadar menambah lapisan birokrasi.