Dampak yang berpotensi muncul antara lain:
• Birokrasi kompleks, karena dua lembaga dengan tujuan serupa memperlambat koordinasi;
• Inefisiensi sumber daya, akibat tumpang tindih anggaran dan program;
• Konflik kewenangan, karena tidak ada kejelasan pembagian fungsi antara Komite Eksekutif dan BP3OKP serta Pemerintah Daerah, dalam hal ini Gubernur dan Bupati sebagai eksekutif.
“Kelembagaan Otsus kini menjadi seperti rumah dengan banyak pintu, tapi tanpa peta. Tiap pemerintahan datang dengan papan nama baru, sementara fondasi tetap rapuh,” ujar Imbir.
Baca Juga:
Raker Adat Dewan Adat Sub Suku USBA Tegaskan Regenerasi Kepemimpinan, Penguatan Budaya, dan Pembentukan Lumbung Pengetahuan Adat
Sentralisasi Kekuasaan di Balik Narasi Percepatan.
Dari perspektif politik, pembentukan Komite Eksekutif mencerminkan sentralisasi baru di bawah wajah birokrasi modern, bukan desentralisasi substantif sebagaimana amanat Otsus.
Semua proses pembentukan dan pelantikan berlangsung di Jakarta, tanpa partisipasi masyarakat adat maupun representasi daerah. Padahal, semangat Otsus Papua adalah self-governance, yakni menempatkan Orang Asli Papua (OAP) sebagai subjek pembangunan, bukan objek administratif.
Baca Juga:
Institut Usba Desak Pemerintah dan Pihak Adat untuk Jaga Persatuan dan Keutuhan Adat di Tengah Sengketa Tiga Pulau
Penerbitan Keppres yang membentuk komite baru untuk percepatan pembangunan Otsus juga dapat dilihat sebagai langkah sentralisasi kekuasaan. Langkah ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah pusat tidak mempercayai efektivitas BP3OKP, dan berpotensi melemahkan otonomi khusus itu sendiri.
“Papua tidak membutuhkan lebih banyak meja di Istana, tetapi ruang keputusan di tanahnya sendiri. Komite ini menandakan pemerintah masih memandang Papua sebagai objek pengelolaan, bukan wilayah politik yang memiliki hak menentukan masa depannya,” tambah Imbir.
Implikasi Hukum dan Tata Pemerintahan
Secara hukum tata negara, Keppres 110P/2025 menunjukkan ketidaksesuaian dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan.