PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Papua Barat Daya - Institut USBA menyampaikan keprihatinan mendalam atas rangkaian bencana banjir bandang dan longsor yang melanda di Pulau Sumatera, yaitu: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025.
Bencana tersebut bukan sekadar akibat cuaca ekstrem, tetapi terindikasi merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat pertambangan, perkebunan skala besar, HTI, dan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhitungkan risiko lanskap.
Baca Juga:
ESDM Siapkan Evaluasi Tambang Usai Banjir Sumatera, Bahlil: Siap-siap Semua Diperiksa
Analisis yang dilakukan Institut USBA mengacu pada temuan investigatif yang terekam dalam artikel berseri yang dilansir oleh strategi.id dengan judul “Bencana Sumatera 2025: Banjir, Longsor, dan Kegagalan Sistem Eksplorasi Kebijakan serta Manajemen Risiko,” “Jejak Banjir Sumatera 2025: Ketika Hutan Pergi, Air Datang,” “Menyelamatkan Hulu Sumatera: Jalan Keluar dari Siklus Banjir 2025,” dan “Peta Perusahaan di Balik Krisis Banjir Sumatera 2025: Siapa Menguasai Hulu Sungai?”
Keempat artikel tersebut secara kuat menunjukkan pola kerusakan ekologi yang menyebabkan banjir menjadi lebih masif, cepat, dan destruktif dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Bencana Sumatera 2025
Baca Juga:
Curah Hujan “Hitam” dan Siklon Tropis, BMKG Terangkan Awal Bencana Sumatera
Artikel Ketika Hutan Pergi, Air Datang
Data lapangan mencatat bahwa banjir dan longsor terjadi hanya setelah hujan turun beberapa jam. Air membawa lumpur, sedimen, bahkan kayu-kayu gelondongan dari bukit, indikasi adanya pembukaan hutan di zona terlarang.
Artikel Jejak Banjir Sumatera 2025: Ketika Hutan Pergi, Air Datang menegaskan bahwa hilangnya hutan menyebabkan hilangnya “benteng penahan air” Sumatera sehingga hujan singkat pun dapat memicu bencana besar.