2. Ancaman terhadap Pariwisata
Sektor pariwisata wilayah Raja Ampat telah menyumbang Rp 1,2 triliun/tahun (Kemenparekraf, 2024). Namun demikian, keberadaan tambang menjadi ancaman terhadap pariwisata dalam hal:
Baca Juga:
Tambang Nikel di Raja Ampat, Bukan Harapan Melainkan Mimpi Buruk
* 20.000 pekerja terancam PHK jika terumbu karang rusak (Asosiasi Pariwisata Raja Ampat).
* 50% homestay di Arborek dan Sauwandarek terancam bangkrut (Laporan Ekuatorial, 2024).
III. INKONSISTENSI KEBIJAKAN PEMERINTAH
Izin tambang yang diterbitkan oleh Pemerintah telah melanggar:
Baca Juga:
Kado 22 Tahun Raja Ampat, Surga yang Diambang Kehancuran
1. Putusan MK No. 3/PUU-XXI/2024: Larangan tambang di pulau kecil.
2. Perda Papua Barat Daya No. 8/2023: Perlindungan ekosistem Raja Ampat.
3. Perjanjian Paris 2015: Komitmen pengurangan emisi karbon.
4. SDGs Tujuan 14 & 15: Perlindungan ekosistem laut dan darat.
Melihat dan mencermati berbagai hal di atas, maka kami Institut Usba meminta Pemerintah Pusat untuk terjun dan terlibat langsung dalam upaya menyelesaikan masalah yang telah ditimbulkan dengan melakukan:
1. Cabut izin tambang nikel di Pulau Batan Pele & Manyaifun dan moratorium seluruh kegiatan eksploitasi di kawasan konservasi.
2. Tuntut pertanggungjawaban PT. Mineral Nusantara Jaya atas pelanggaran AMDAL.
3. Libatkan masyarakat adat dalam pengawasan sesuai prinsip FPIC.
4. Alihkan investasi ke ekowisata dan energi terbarukan, seperti energi gelombang laut (wave energy) dan energi pasang surut (tidal energy) serta pengelolaan sampah berbasis komunitas.