PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Raja Ampat - Papua telah lama menjadi korban dari kebijakan pemerintah pusat yang menempatkan pembangunan ekstraktif di atas kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Hutan-hutan dirambah, sungai-sungai tercemar, dan wilayah-wilayah adat dikorbankan atas nama investasi dan kepentingan nasional.
Baca Juga:
Tambang Nikel di Raja Ampat, Bukan Harapan Melainkan Mimpi Buruk
Di bagian selatan dan pedalaman Papua, banyak wilayah telah rusak akibat eksploitasi tambang, logging, dan proyek infrastruktur skala besar yang seringkali dilakukan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari masyarakat adat setempat.
Dalam pantauan, tercatat ada beberapa kasus yang terjadi di berbagai wilayah Papua lainnya antara lain:
1. Gugatan Hukum Masyarakat Adat vs Freeport melibatkan Suku Amungme dan Kamoro pada tahun 2021 atas kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.
2. Laporan Lab Pencemaran Freeport (Merkuri & Tailing) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Universitas Cendrawasih dengan temuan:
Baca Juga:
Kado 22 Tahun Raja Ampat, Surga yang Diambang Kehancuran
a. Kadar merkuri di Sungai Ajkwa: 0,025 mg/L (melebihi baku mutu 0,002 mg/L).
b. Sedimen tailing mengandung tembaga (Cu) 1.200 ppm (ambang aman: 100 ppm).
3. Laporan Pencemaran Nikel di Sorong yang dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup Papua Barat dengan temuan:
a. Kadar nikel di Sungai Klasouw: 1,2 mg/L (baku mutu: 0,2 mg/L) yang membawa dampak kematian massal ikan jenis mujair dan nila.
4. Investigasi Tambang Ilegal di Pegunungan Bintang oleh Bareskrim Polri dan Komnas HAM yang menemukan:
a. 56 lokasi tambang emas ilegal yang melibatkan TNI/Polri.
b. Pekerja anak usia 12–17 tahun dengan upah Rp 50.000/hari.
5. Laporan PBB tentang Pelanggaran HAM di Freeport dengan temuan:
a. Kerja paksa dan kekerasan seksual di area tambang dan menghasilkan rekomendasi: Freeport harus menghentikan operasi hingga ada audit HAM.
Kini, ancaman yang sama menjalar ke bagian paling depan dari Papua, Raja Ampat.
Sebagai simbol wajah Papua di mata dunia internasional dan rumah bagi keanekaragaman hayati laut terbesar di planet ini, Raja Ampat adalah jantung pariwisata berkelanjutan yang selama ini menjadi harapan masa depan Papua.
Namun, kebijakan pemerintah pusat yang mengizinkan pertambangan nikel di wilayah ini menunjukkan bahwa kerusakan yang selama ini terjadi di 'belakang rumah' Papua kini berlanjut ke ‘teras depan’-nya.
Pertambangan nikel di Raja Ampat bukan hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga mengabaikan hak-hak masyarakat adat, serta menghancurkan fondasi ekonomi lokal yang telah tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan melalui pariwisata berbasis komunitas. Jika wajah Papua di Raja Ampat ikut dirusak, maka kita sedang menyaksikan hilangnya satu demi satu harapan akan masa depan Papua yang berdaulat secara ekologis dan adat.
Di bawah ini adalah data, fakta dan berbagai dampak yang memperlihatkan betapa Pemerintah Pusat telah gagal dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 33 UUD 1945 di Raja Ampat.
I. DAMPAK EKOLOGIS YANG TAK TERBANTAHKAN
1. Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati
Raja Ampat adalah rumah bagi 1.800+ spesies ikan (termasuk 27 spesies endemik); 550 jenis terumbu karang (75% spesies karang dunia); 60% hutan mangrove Papua Barat (Conservation International, 2023). Aktivitas tambang nikel telah menyebabkan:
* Kerusakan Terumbu Karang: Sedimen tambang menutupi 40% karang di Dampier Strait (WWF Indonesia, 2024).
* Deforestasi Massal: 1.200 hektar hutan mangrove hilang di Pulau Manyaifun (KLHK, 2024).
* Pencemaran Logam Berat (nikel dan kobalt) dari tambang nikel telah menyebabkan kadar nikel di perairan Raja Ampat mencapai 1,25 mg/L (5x di atas baku mutu KLHK), mengancam spesies kunci seperti hiu karpet dan pari manta (Greenpeace, 2025; KLHK, 2024).
2. Krisis Iklim dan Ekosistem
Raja Ampat menyerap 2,5 juta ton karbon/tahun (UNEP, 2023). Sementara itu, tambang nikel meningkatkan emisi 2 juta ton CO₂/tahun dari deforestasi dan PLTU batubara pendukungnya (Climate Rights International, 2025).
II. PELANGGARAN HAK MASYARAKAT ADAT & PARIWISATA
1. Penolakan Masyarakat Adat
Keberadaan tambang telah merampas dan melenyapkan tempat sakral (sacred sites) milik masyarakat adat dan sumber ikan tradisional. Suku Kawei, Betew, dan Maya menolak tambang melalui Surat Bersama 15 Kepala Suku (2024).
Keberadaan tambang nikel menunjukkan tidak dilaksanakannya FPIC (Free, Prior, Informed Consent) sebagaimana diatur dalam UU No. 11/2013 tentang Masyarakat Adat.
2. Ancaman terhadap Pariwisata
Sektor pariwisata wilayah Raja Ampat telah menyumbang Rp 1,2 triliun/tahun (Kemenparekraf, 2024). Namun demikian, keberadaan tambang menjadi ancaman terhadap pariwisata dalam hal:
* 20.000 pekerja terancam PHK jika terumbu karang rusak (Asosiasi Pariwisata Raja Ampat).
* 50% homestay di Arborek dan Sauwandarek terancam bangkrut (Laporan Ekuatorial, 2024).
III. INKONSISTENSI KEBIJAKAN PEMERINTAH
Izin tambang yang diterbitkan oleh Pemerintah telah melanggar:
1. Putusan MK No. 3/PUU-XXI/2024: Larangan tambang di pulau kecil.
2. Perda Papua Barat Daya No. 8/2023: Perlindungan ekosistem Raja Ampat.
3. Perjanjian Paris 2015: Komitmen pengurangan emisi karbon.
4. SDGs Tujuan 14 & 15: Perlindungan ekosistem laut dan darat.
Melihat dan mencermati berbagai hal di atas, maka kami Institut Usba meminta Pemerintah Pusat untuk terjun dan terlibat langsung dalam upaya menyelesaikan masalah yang telah ditimbulkan dengan melakukan:
1. Cabut izin tambang nikel di Pulau Batan Pele & Manyaifun dan moratorium seluruh kegiatan eksploitasi di kawasan konservasi.
2. Tuntut pertanggungjawaban PT. Mineral Nusantara Jaya atas pelanggaran AMDAL.
3. Libatkan masyarakat adat dalam pengawasan sesuai prinsip FPIC.
4. Alihkan investasi ke ekowisata dan energi terbarukan, seperti energi gelombang laut (wave energy) dan energi pasang surut (tidal energy) serta pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, maka kami akan:
* Mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atas izin tambang yang sudah diterbitkan.
* Melaporkan ke Pelapor Khusus PBB untuk HAM dan Lingkungan (Special Rapporteur on Human Rights and the Environment)
* Mobilisasi aksi nasional & kampanye global #SaveRajaAmpat.
Penulis: Charles Imbir, Direktur Institut Usba.
[Editor/Redaktur: Hotbert Purba]
Institut Usba adalah sebuah organisasi independen yang bekerja dengan misi pelestarian tradisi dan ekosistem lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan. Institut Usba berdiri untuk menjawab tantangan krisis iklim akibat ulah manusia yang menjadi problem global dunia saat ini dengan mengangkat kembali kearifan lokal yang ekologis.
"Kami percaya, alam dan budaya yang lestari adalah sebuah hak dan syarat kehidupan yang berkelanjutan. Raja Ampat bukan koloni industri tambang, tapi warisan dunia yang harus dilindungi!," [Charles Imbir]