1. Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati
Raja Ampat adalah rumah bagi 1.800+ spesies ikan (termasuk 27 spesies endemik); 550 jenis terumbu karang (75% spesies karang dunia); 60% hutan mangrove Papua Barat (Conservation International, 2023). Aktivitas tambang nikel telah menyebabkan:
Baca Juga:
Tambang Nikel di Raja Ampat, Bukan Harapan Melainkan Mimpi Buruk
* Kerusakan Terumbu Karang: Sedimen tambang menutupi 40% karang di Dampier Strait (WWF Indonesia, 2024).
* Deforestasi Massal: 1.200 hektar hutan mangrove hilang di Pulau Manyaifun (KLHK, 2024).
* Pencemaran Logam Berat (nikel dan kobalt) dari tambang nikel telah menyebabkan kadar nikel di perairan Raja Ampat mencapai 1,25 mg/L (5x di atas baku mutu KLHK), mengancam spesies kunci seperti hiu karpet dan pari manta (Greenpeace, 2025; KLHK, 2024).
2. Krisis Iklim dan Ekosistem
Raja Ampat menyerap 2,5 juta ton karbon/tahun (UNEP, 2023). Sementara itu, tambang nikel meningkatkan emisi 2 juta ton CO₂/tahun dari deforestasi dan PLTU batubara pendukungnya (Climate Rights International, 2025).
Baca Juga:
Kado 22 Tahun Raja Ampat, Surga yang Diambang Kehancuran
II. PELANGGARAN HAK MASYARAKAT ADAT & PARIWISATA
1. Penolakan Masyarakat Adat
Keberadaan tambang telah merampas dan melenyapkan tempat sakral (sacred sites) milik masyarakat adat dan sumber ikan tradisional. Suku Kawei, Betew, dan Maya menolak tambang melalui Surat Bersama 15 Kepala Suku (2024).
Keberadaan tambang nikel menunjukkan tidak dilaksanakannya FPIC (Free, Prior, Informed Consent) sebagaimana diatur dalam UU No. 11/2013 tentang Masyarakat Adat.