Raja Ampat bukan hanya sekadar tempat, tetapi juga warisan alam dan sosial budaya yang tak ternilai harganya bagi masyarakat adat dan dunia. Aktivitas tambang berpotensi menghilangkan warisan ini.
Pihak perusahaan tambang terkadang mengklaim akan memberdayakan masyarakat sekitar dengan menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi. Misalnya, kegiatan revegetasi pasca-tambang disebut bisa menjadi mata pencarian baru.
Baca Juga:
Raja Ampat Tak Butuh Tambang, Sektor Pariwisata Dapat Hasilkan Rp300 Miliar dalam Setahun
Dengan adanya kegiatan ekonomi dari pertambangan, diharapkan ada kontribusi terhadap pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan melalui pajak dan retribusi.
Beberapa perusahaan juga mengklaim berkomitmen untuk menerapkan praktik penambangan yang berwawasan lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial, termasuk melakukan reklamasi lahan pasca-tambang dan konservasi.
Namun, suara penolakan dari masyarakat adat, organisasi lingkungan seperti Greenpeace, dan akademisi sangat kuat, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam terhadap potensi kehancuran yang jauh lebih besar daripada harapan yang ditawarkan.
Baca Juga:
4 Izin Tambang di Raja Ampat Resmi Dicabut Pemerintah, Ini Tanggapan Greenpeace Indonesia
Seringkali, keputusan terkait izin pertambangan dibuat di tingkat pusat atau oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan modal besar, tanpa melibatkan partisipasi yang memadai dari masyarakat lokal, terutama masyarakat adat yang memiliki hak ulayat. Hal ini memicu anggapan bahwa proyek tambang merupakan bagian dari "ekonomi elit" yang mengabaikan suara rakyat.
Keuntungan besar dari hasil tambang, terutama nikel, sebagian besar mengalir ke kantong perusahaan dan pemegang saham, serta dapat memicu praktik korupsi dan kolusi di antara para elit yang memiliki kepentingan dalam proyek tersebut.
Meskipun ada kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun manfaat tersebut seringkali tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditanggung masyarakat dan lingkungan.