PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Raja Ampat - Isu tambang nikel di Raja Ampat adalah topik yang sangat kompleks dan memicu perdebatan sengit.
Dampaknya terhadap masyarakat bisa menjadi harapan sekaligus kehancuran, tergantung pada perspektif dan kepentingan masing-masing pihak.
Baca Juga:
Dari Wawonii ke Raja Ampat: Menuju Moratorium Bijak untuk Menyelamatkan Pulau-Pulau Kecil dan Masa Depan Ekonomi Indonesia
Raja Ampat dikenal sebagai surga bawah laut dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, pusat segitiga terumbu karang dunia.
Aktivitas penambangan nikel, terutama di pulau-pulau kecil seperti Pulau Kawe, Pulau Gag, dan Pulau Manuran, berpotensi besar menyebabkan deforestasi, sedimentasi tinggi, dan pencemaran laut.
Ini mengancam ekosistem terumbu karang, habitat penyu, dan hutan mangrove yang sangat vital. Kerusakan ini bisa bersifat total dan jangka panjang, sulit dipulihkan.
Baca Juga:
Masyarakat Adat Raja Ampat Serahkan 8 Tuntutan ke MRP Papua Barat Daya: Pengakuan Hukum, Kembalikan Wilayah Adat dan Tutup PT Gag Nikel
Masyarakat Raja Ampat banyak bergantung pada laut dan hutan untuk mata pencarian mereka, seperti perikanan dan pariwisata. Kerusakan lingkungan akibat tambang akan mengurangi akses terhadap sumber pangan dan mata pencarian, memicu kerentanan ekonomi dan sosial. Industri pariwisata, yang merupakan sumber pendapatan berkelanjutan, juga sangat terancam.
Kehadiran perusahaan tambang dapat memicu konflik horizontal di antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap aktivitas tambang. Beberapa laporan menyebutkan adanya ketegangan dan perpecahan di kalangan masyarakat adat.
Foto udara eksploitasi pertambangan nikel di Pulau Gag. (Foto: Aliansi Masyarakat Adat Indonesia)