PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Raja Ampat - Isu tambang nikel di Raja Ampat adalah topik yang sangat kompleks dan memicu perdebatan sengit.
Dampaknya terhadap masyarakat bisa menjadi harapan sekaligus kehancuran, tergantung pada perspektif dan kepentingan masing-masing pihak.
Baca Juga:
Raja Ampat Tak Butuh Tambang, Sektor Pariwisata Dapat Hasilkan Rp300 Miliar dalam Setahun
Raja Ampat dikenal sebagai surga bawah laut dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, pusat segitiga terumbu karang dunia.
Aktivitas penambangan nikel, terutama di pulau-pulau kecil seperti Pulau Kawe, Pulau Gag, dan Pulau Manuran, berpotensi besar menyebabkan deforestasi, sedimentasi tinggi, dan pencemaran laut.
Ini mengancam ekosistem terumbu karang, habitat penyu, dan hutan mangrove yang sangat vital. Kerusakan ini bisa bersifat total dan jangka panjang, sulit dipulihkan.
Baca Juga:
4 Izin Tambang di Raja Ampat Resmi Dicabut Pemerintah, Ini Tanggapan Greenpeace Indonesia
Masyarakat Raja Ampat banyak bergantung pada laut dan hutan untuk mata pencarian mereka, seperti perikanan dan pariwisata. Kerusakan lingkungan akibat tambang akan mengurangi akses terhadap sumber pangan dan mata pencarian, memicu kerentanan ekonomi dan sosial. Industri pariwisata, yang merupakan sumber pendapatan berkelanjutan, juga sangat terancam.
Kehadiran perusahaan tambang dapat memicu konflik horizontal di antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap aktivitas tambang. Beberapa laporan menyebutkan adanya ketegangan dan perpecahan di kalangan masyarakat adat.
Foto udara eksploitasi pertambangan nikel di Pulau Gag. (Foto: Aliansi Masyarakat Adat Indonesia)
Raja Ampat bukan hanya sekadar tempat, tetapi juga warisan alam dan sosial budaya yang tak ternilai harganya bagi masyarakat adat dan dunia. Aktivitas tambang berpotensi menghilangkan warisan ini.
Pihak perusahaan tambang terkadang mengklaim akan memberdayakan masyarakat sekitar dengan menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi. Misalnya, kegiatan revegetasi pasca-tambang disebut bisa menjadi mata pencarian baru.
Dengan adanya kegiatan ekonomi dari pertambangan, diharapkan ada kontribusi terhadap pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan melalui pajak dan retribusi.
Beberapa perusahaan juga mengklaim berkomitmen untuk menerapkan praktik penambangan yang berwawasan lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial, termasuk melakukan reklamasi lahan pasca-tambang dan konservasi.
Namun, suara penolakan dari masyarakat adat, organisasi lingkungan seperti Greenpeace, dan akademisi sangat kuat, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam terhadap potensi kehancuran yang jauh lebih besar daripada harapan yang ditawarkan.
Seringkali, keputusan terkait izin pertambangan dibuat di tingkat pusat atau oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan modal besar, tanpa melibatkan partisipasi yang memadai dari masyarakat lokal, terutama masyarakat adat yang memiliki hak ulayat. Hal ini memicu anggapan bahwa proyek tambang merupakan bagian dari "ekonomi elit" yang mengabaikan suara rakyat.
Keuntungan besar dari hasil tambang, terutama nikel, sebagian besar mengalir ke kantong perusahaan dan pemegang saham, serta dapat memicu praktik korupsi dan kolusi di antara para elit yang memiliki kepentingan dalam proyek tersebut.
Meskipun ada kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun manfaat tersebut seringkali tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditanggung masyarakat dan lingkungan.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, tambang dapat memecah belah masyarakat menjadi kelompok pro dan kontra, seringkali dengan pihak yang pro mendapatkan insentif atau tekanan dari perusahaan, sementara yang kontra menghadapi stigmatisasi atau bahkan kriminalisasi. Ini menunjukkan bahwa kepentingan tambang tidak menyatukan, melainkan memecah belah masyarakat.
Meskipun Pendapatan Asli Daerah (PAD) seringkali menjadi justifikasi yang digunakan pemerintah daerah untuk menerima proyek tambang, dengan harapan dana tersebut dapat digunakan untuk pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, pertanyaan besar adalah apakah peningkatan PAD tersebut sebanding dengan biaya lingkungan dan sosial yang harus ditanggung, dan apakah dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk kepentingan rakyat.
Pada akhirnya, di Raja Ampat, banyak pihak menilai bahwa manfaat ekonomi yang dijanjikan, termasuk PAD, tidak akan sebanding dengan kerugian ekologis dan sosial yang ditimbulkan oleh pertambangan nikel, terutama mengingat status Raja Ampat sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati global.
[Redaktur: Hotbert Purba]