Padahal, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari.
Pengerukan lahan karena aktivitas tambang juga dapat merusak ekosistem yang telah terbangun selama jutaan tahun.
Baca Juga:
Polda Sulteng Periksa 46 Karyawan GNI
Permukaan lahan yang telah gundul mengurangi infiltrasi air hujan dan meningkatkan laju aliran permukaan.
Sementara itu, penumpukan material galian dan kayu-kayu akan terbawa oleh aliran air permukaan. Kestabilan lereng perbukitan juga rusak karena pengerukan yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan keseimbangan topografinya.
Selain itu juga terjadi pencemaran air, tanah, dan laut karena limbah hasil pengolahan komoditas tambang.
Baca Juga:
Bambang Soesatyo Dukung Pemprov Sulsel Ambil Alih Tambang Nikel di Luwu Timur
Salah satu contohnya adalah sumber air bersih di Pulau Wawonii yang tercemar lumpur sehingga warga kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kasus lain terjadi di Pulau Bangka karena tambang timah yang merusak ekosistem pesisir dan mangrove.
Tak hanya secara ekologi, aktivitas tambang juga rawan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal. Banyak komoditas pangan yang akhirnya hilang, seperti sagu dan kopra. Jatam menemukan hilangnya komoditas sagu dan kopra di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, akibat pertambangan nikel.
Alih fungsi lahan mendorong keruntuhan ekosistem pangan sehingga masyarakat juga kesulitan mencari pangan di hutan atau ladang karena telah beralih fungsi ke tambang.