PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Raja Ampat - Eksploitasi pertambangan berisiko tinggi mendegradasi ekosistem wilayah, terutama di pulau-pulau kecil. Tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, kegiatan pertambangan juga memicu kerawanan sosial yang berpotensi memicu konflik antar masyarakat.
Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada tahun 2022, ditemukan setidaknya ada 164 izin tambang di 55 pulau kecil di seluruh Indonesia.
Baca Juga:
Beroperasi Sejak Tahun 2018, Kontribusi serta Setoran Pajak dan Non Pajak dari PT Gag Nikel Kepada Negara Capai Rp2,1 Triliun
Sejumlah pulau kecil itu sekarang mengalami kerusakan akibat eksploitasi tambang. Sebut saja Pulau Obi, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli di Maluku Utara, Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, Pulau Sangihe di Sulawesi Utara, Pulau Kodingareng di Sulawesi Selatan, serta Pulau Bunyu di Kalimantan Utara.
Eksploitasi alam di pulau kecil dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan, mengingat kerentanan ekologis yang tinggi dengan daya pulih yang rendah.
Artinya, begitu ada kerusakan di salah satu bagian pulau, dampaknya akan meluas secara cepat di seluruh pulau dan sulit dipulihkan. Sistem ekologi sangat spesifik dengan keberagaman spesies endemik membuat pemulihannya sangat sulit.
Baca Juga:
Polda Sulteng Periksa 46 Karyawan GNI
Dikutip dari Litbang Kompas, 31 Juli 2023, salah satu kasus pelik kerusakan pulau kecil terjadi di Pulau Obi di Halmahera Utara yang antara lain, dipicu pertambangan nikel.
Industri nikel telah merusak aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat setempat. Hal serupa terjadi di Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara yang menyebabkan kerusakan ekologis parah.
Eksploitasi tambang kini melebar ke ujung timur Indonesia, yakni kepala burung Pulau Papua, Provinsi Papua Barat Daya tepatnya Kepulauan Raja Ampat.
Pulau yang luasnya mencapai 71.605 kilometer persegi dan hanya terdiri dari pulau-pulau kecil itu dipredikisi berpotensi tinggi menanggung dampak kerusakan lingkungan karena operasi penambangan nikel.
Saat ini setidaknya ada 3 titik di Kabupaten Raja Ampat yang telah di eksploitas, diantaranya: Pulau Gag di Distrik Wiageo Barat Kepulauan, Pulau Kawe di Distrik Waigeo Barat Daratan dan Pulau Manuram di Bagian Utara Raja Ampat.
Tak hanya 3 titik itu, berdasarkan data yang berhasil dirangkum PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, akan ada 2 tambang yang rencananya beroperasi di Pulau Batang Pele dan Manyaifun serta Pualu Saukabu di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dengan yang mana salah satu kawasan Geopark Pianemo masuk dalam Concession. Eksploitasi tambang di Raja Ampat juga diperkirakan akan bertambah.
Parahnya, penambangan dilakukan tepat pada jantung pariwisata bahari yang telah dinobatkan sebagai Geopark oleh UNESCO beberapa waktu lalu. Namun, alih-alih mendapatkan keuntungan besar,
Pemda Raja Ampat disinyalir telah melakukan pembiaran dan memberikan ruang untuk industri pertambangan tanpa memikirkan dampak yang tinggi padahal ada banyak contoh di daerah lain yang mengalami kerugian besar dari aktivitas pertambangan.
Praktik eksploitasi tambang tersebut jelas bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan Raja Ampat yang telah mendunia dengan wisata baharinya.
Aktivitas penambangan di Raja Ampat akan mengakibatkan munculnya bencana ekologis bagi masyarakat, seperti kejadian bencana ekstrim, pencemaran air, tanah, serta laut dan kerusakan hutan, sulitnya akses pangan serta hilangnya ruang hidup masyarakat.
Padahal, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari.
Pengerukan lahan karena aktivitas tambang juga dapat merusak ekosistem yang telah terbangun selama jutaan tahun.
Permukaan lahan yang telah gundul mengurangi infiltrasi air hujan dan meningkatkan laju aliran permukaan.
Sementara itu, penumpukan material galian dan kayu-kayu akan terbawa oleh aliran air permukaan. Kestabilan lereng perbukitan juga rusak karena pengerukan yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan keseimbangan topografinya.
Selain itu juga terjadi pencemaran air, tanah, dan laut karena limbah hasil pengolahan komoditas tambang.
Salah satu contohnya adalah sumber air bersih di Pulau Wawonii yang tercemar lumpur sehingga warga kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kasus lain terjadi di Pulau Bangka karena tambang timah yang merusak ekosistem pesisir dan mangrove.
Tak hanya secara ekologi, aktivitas tambang juga rawan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal. Banyak komoditas pangan yang akhirnya hilang, seperti sagu dan kopra. Jatam menemukan hilangnya komoditas sagu dan kopra di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, akibat pertambangan nikel.
Alih fungsi lahan mendorong keruntuhan ekosistem pangan sehingga masyarakat juga kesulitan mencari pangan di hutan atau ladang karena telah beralih fungsi ke tambang.
Dampak lain pertambangan ialah berkurangnya wilayah dan lokasi mata pencaharian masyarakat. Kerusakan lingkungan di laut menyebabkan kerugian besar bagi nelayan yang kian sulit mendapatkan tangkapan ikan.
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam dan sosial yang sangat tinggi. Tak hanya itu, peran wilayah kepulauan seperti Raja Ampat sangat strategis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Hanya saja, eksploitasi lahan karena pertambangan telah merusak ekosistem kepulauan yang telah menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup setempat.
[Redaktur: Hotbert Purba]