Penolakan tersebut sampai pada adanya Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Raja Ampat dan Pemda, namun ironisnya pemda melalui OPD teknis memandang wajar kehadiran investasi tambang di Kabupaten yang merupakan salah satu tujuan wisata dunia.
Lebih ironisnya, kehadiran tambang di Manyaifun dan Batang Pele memicu konflik antar kelompok masyarakat, tak hanya sekali terjadi, konflik terjadi berulang kali. Namun, hingga saat ini pemda tidak menyikapi persoalan tersebut.
Baca Juga:
Raja Ampat Tak Butuh Tambang, Sektor Pariwisata Dapat Hasilkan Rp300 Miliar dalam Setahun
Sebaliknya, selama kurang lebih dua bulan terakhir, pemda sibuk mengurus perpindahan pasar yang katanya menyebabkan pencemaran dan mengganggu nilai estetika kota, lalu kemudian mengabaikan ancaman yang sesungguhnya dari aktivitas pertambangan.
Laut rusak, hutan rusak, perpecahan antar kelompok masyarakat merupakan persoalan krusial yang seharusnya disikapi dengan serius.
Sayangnya, Pemda Raja Ampat terkesan diam dan melakukan pembiaran, sementara disisi lain mengejar pajak dan keuntungan dibalik ancaman dan konflik.
Baca Juga:
4 Izin Tambang di Raja Ampat Resmi Dicabut Pemerintah, Ini Tanggapan Greenpeace Indonesia
[Redaktur: Hotbert Purba]