Penolakan tersebut sampai pada adanya Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Raja Ampat dan Pemda, namun ironisnya pemda melalui OPD teknis memandang wajar kehadiran investasi tambang di Kabupaten yang merupakan salah satu tujuan wisata dunia.
Lebih ironisnya, kehadiran tambang di Manyaifun dan Batang Pele memicu konflik antar kelompok masyarakat, tak hanya sekali terjadi, konflik terjadi berulang kali. Namun, hingga saat ini pemda tidak menyikapi persoalan tersebut.
Baca Juga:
Dari Wawonii ke Raja Ampat: Menuju Moratorium Bijak untuk Menyelamatkan Pulau-Pulau Kecil dan Masa Depan Ekonomi Indonesia
Sebaliknya, selama kurang lebih dua bulan terakhir, pemda sibuk mengurus perpindahan pasar yang katanya menyebabkan pencemaran dan mengganggu nilai estetika kota, lalu kemudian mengabaikan ancaman yang sesungguhnya dari aktivitas pertambangan.
Laut rusak, hutan rusak, perpecahan antar kelompok masyarakat merupakan persoalan krusial yang seharusnya disikapi dengan serius.
Sayangnya, Pemda Raja Ampat terkesan diam dan melakukan pembiaran, sementara disisi lain mengejar pajak dan keuntungan dibalik ancaman dan konflik.
Baca Juga:
Masyarakat Adat Raja Ampat Serahkan 8 Tuntutan ke MRP Papua Barat Daya: Pengakuan Hukum, Kembalikan Wilayah Adat dan Tutup PT Gag Nikel
[Redaktur: Hotbert Purba]