Penolakan tersebut sampai pada adanya Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Raja Ampat dan Pemda, namun ironisnya pemda melalui OPD teknis memandang wajar kehadiran investasi tambang di Kabupaten yang merupakan salah satu tujuan wisata dunia.
Lebih ironisnya, kehadiran tambang di Manyaifun dan Batang Pele memicu konflik antar kelompok masyarakat, tak hanya sekali terjadi, konflik terjadi berulang kali. Namun, hingga saat ini pemda tidak menyikapi persoalan tersebut.
Baca Juga:
IUP di Raja Ampat Dikecam Spesialis Monitoring Ikan dan Karang dari Eks LSM Conservation International
Sebaliknya, selama kurang lebih dua bulan terakhir, pemda sibuk mengurus perpindahan pasar yang katanya menyebabkan pencemaran dan mengganggu nilai estetika kota, lalu kemudian mengabaikan ancaman yang sesungguhnya dari aktivitas pertambangan.
Laut rusak, hutan rusak, perpecahan antar kelompok masyarakat merupakan persoalan krusial yang seharusnya disikapi dengan serius.
Sayangnya, Pemda Raja Ampat terkesan diam dan melakukan pembiaran, sementara disisi lain mengejar pajak dan keuntungan dibalik ancaman dan konflik.
Baca Juga:
PT Gag Nikel Kembali Beroperasi, Senator PFM Minta Penyerapan Tenaga Kerja 80% OAP Sebagai Bukti Keadilan Negara Melalui UU Otsus
[Redaktur: Hotbert Purba]