PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Raja Ampat - Pemerintah Indonesia resmi mencabut empat izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini membuka kembali harapan akan masa depan kawasan konservasi laut yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia di mata dunia.						
					
						
						
							Keputusan pencabutan izin tambang diumumkan menyusul desakan masyarakat sipil dan komunitas konservasi yang menilai aktivitas tambang mengancam kelestarian ekosistem Raja Ampat. 						
					
						
							
								
								
									Baca Juga:
									PT Gag Nikel Kembali Beroperasi, Senator PFM Minta Penyerapan Tenaga Kerja 80% OAP Sebagai Bukti Keadilan Negara Melalui UU Otsus
								
								
									
										
	
									
								
							
						
						
							Dari lima izin tambang yang sebelumnya diberikan, hanya satu yang masih diperbolehkan beroperasi, yakni milik PT Gag Nikel di Pulau Gag, karena dinilai memenuhi persyaratan hukum dan lingkungan.						
					
						
						
							Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia, Victor Nikijuluw dalam keterangan menilai langkah pemerintah sebagai langkah tepat untuk menjaga ekosistem laut yang sangat rapuh. 						
					
						
						
							Ia menegaskan, pariwisata berkelanjutan sudah terbukti mampu mendukung ekonomi masyarakat tanpa harus merusak alam.						
					
						
							
								
								
									Baca Juga:
									Susi Pujiastuti Desak Presiden Prabowo Turun Tangan dan Hentikan Eksploitasi Alam Raja Ampat
								
								
									
	
								
							
						
						
							“Pariwisata berkelanjutan sudah terbukti mampu menjadi tulang punggung ekonomi Raja Ampat, tanpa harus merusak alamnya yang rapuh,” kata Victor, dikutip Minggu (15/6/2025).						
					
						
						
							Berdasarkan data Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Raja Ampat tahun 2023, pendapatan dari Tarif Jasa Lingkungan yang dibayarkan wisatawan internasional (24.467 pengunjung) mencapai Rp17,1 miliar. Sedangkan dari wisatawan domestik terkumpul Rp452 juta.						
					
						
						
							Dengan angka tersebut, sektor pariwisata dinilai lebih realistis sebagai pendorong ekonomi lokal dibandingkan pertambangan.