PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Raja Ampat - Kehadiran tambang di Raja Ampat saat ini menjadi keresahan masyarakat, hal itu disebabkan kekhawatiran terhadap ancaman lingkungan dan ruang hidup masyarakat yang semakin sempit.
Bukan hanya mengancam lingkungan dan ruang hidup, kehadiran tambang di Raja Ampat juga mengancam tatanan kehidupan masyarakat Adat di wilayah pesisir kepala burung Papua.
Baca Juga:
Dari Wawonii ke Raja Ampat: Menuju Moratorium Bijak untuk Menyelamatkan Pulau-Pulau Kecil dan Masa Depan Ekonomi Indonesia
Contoh kasus seperti yang terjadi saat ini di bagian barat Pulau Waigeo Raja Ampat, Kampung Manyaifun Distrik Waigeo Barat Kepulauan.
Pada akhir tahun 2024, masyarakat di pesisir Barat Raja Ampat tersebut dikejutkan dengan kehadiran PT Mulya Raimond Perkasa yang diketahui bergerak di bidang pertambangan dan telah mendapatkan izin produksi sejak tahun 2013 dengan luas lahan 2.193 hektar yang berlokasi di dua pulau yakni Batang Pele dan Manyaifun.
Kehadiran PT MRP lantas mendapatkan respon positif dan negatif dari berbagai kalangan, terutama masyarakat yang mendiami pulau Manyaifun.
Baca Juga:
Masyarakat Adat Raja Ampat Serahkan 8 Tuntutan ke MRP Papua Barat Daya: Pengakuan Hukum, Kembalikan Wilayah Adat dan Tutup PT Gag Nikel
Ada sebagian masyarakat yang menerima namun tidak sedikit juga yang menolak.
Aksi penolakan pun turut dilakukan oleh kampung-kampung sekitar yang turut khawatir adanya ancaman terutama terhadap laut yang merupakan lahan hidup sebagai nelayan.
Tak sebatas menggaungkan penolakan, upaya demi upaya juga dilakukan dan melibatkan sejumlah LSM lokal dan LSM Nasional bersama beberapa NGO.