“Orang-orang di negara maju menikmati kendaraan listrik dari nikel, sementara kami di Papua harus menanggung dampak buruknya hingga anak cucu kami,” kata Fiktor Kafiyu.
Lanjut dia, para pemangku kebijakan kini telah tergiur oleh keuntungan dari sektor pertambangan Nikel di Raja Ampat, hal ini telah mengorbankan pulau-pulau kecil yang menopang ekosistem alam, tidak hanya sampai di situ belakangan ini terdapat rencana eksploitasi pulau Manyaifun dan Batang Pele yang telah dimiliki Izin Usaha Pertambangan Nikel milik PT Mulia Raymond Perkasa seluas 2.194 hektare.
Baca Juga:
Raja Ampat Tak Butuh Tambang, Sektor Pariwisata Dapat Hasilkan Rp300 Miliar dalam Setahun
Rencana ekspansi pertambangan ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat lokal, yang khawatir akan dampak lingkungan dan sosial. Masyarakat menilai bahwa kehadiran tambang akan merusak ekosistem, memicu konflik sosial, serta mengancam mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata. aktivitas bisnis ekstraktif tambang nikel akan menggunduli hutan, mencemari lingkungan sekitar, dan merusak ekosistem perairan laut.
Wilayah Raja Ampat merupakan salah satu pulau ikonik dan dipromosikan menjadi warisan dunia. Masyarakat juga khawatir pertambangan nikel PT MRP akan menimbulkan konflik horizontal, kehilangan mata pencaharian dan pendapatan ekonomi masyarakat.
Kehadiran eksploitasi nikel juga akan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan pencemaran perairan laut, perusakan ekosistem bawah laut, habitat dan biota laut, perusakan wilayah pesisir yang pada gilirannya akan mendatangkan bencana bagi penduduk dan nelayan setempat, seperti tangkapan ikan berkurang dan pendapatan berkurang, sehingga Masyarakat akan kesulitan melaut dengan jarak yang lebih jauh, biaya besar dan mahal.
Baca Juga:
Tak Mau Diwawancara, Plt Sekwan Raja Ampat Bersikap Arogan Terhadap Wartawan
Raja Ampat yang dijuluki Jantung Segitiga Karang Dunia, kini berubah nama menjadi jantung investasi nikel secara masif, perizinan tambang mulai diberikan, investor berlomba-lomba merebut kejayaan Raja Ampat.
Alam dikeruk, hutan menjadi gundul, laut berubah warna. Kini 22 tahun adalah sejarah kejayaan dan kehancuran konservasi bahari Kabupaten Raja Ampat.
“Ekspansi tambang nikel di Raja Ampat menimbulkan dilema antara kebutuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Indonesia beresiko kehilangan salah satu ekosistem laut terkaya di dunia. Pemerintah perlu lebih serius dalam menerapkan kebijakan yang mendukung keberlanjutan agar sumber daya laut tetap lestari, tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat pesisir yang bergantung pada kelestarian ekosistem perairan. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan masa depan keanekaragaman hayati laut Indonesia untuk generasi mendatang,” demikian Fiktor Klafiyu.