PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Raja Ampat - Momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Raja Ampat ke-22, dilangsungkan di Pantai Waisai Torang Cinta ( WTC) Distrik Kota Waisai, Jumat 9 Mei 2025.
Perayaan Hut tersebut diakhiri dengan pentas hiburan pada malam hari dengan partisipasi masyarakat menghadiri langsung pentas hiburan.
Baca Juga:
Usia ke 22 Tahun Nirwana Raja Ampat, Pertarungan Wisata dan Eksploitasi Nikel
Pemandangan lain, tampak dua orang memegang kertas pamflet yang diangkat dalam kerumunan bertuliskan “SAVE RAJA AMPAT STOP NIKEL dan CABUT IUP NIKEL PT MULIA RAYMOND PERKASA DI MANYAIFUN DAN BATANG PELE.”
Pesan ini merupakan bentuk peringatan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan nyata dalam upaya pelestarian alam, dimana belakangan ini Raja Ampat terancam deforestasi akibat pembukaan lahan tambang yang akan berdampak terhadap lingkungan, seperti sedimentasi tinggi yang terbawa air hujan ke laut. Juga endapan lumpur akan menutupi terumbu karang yang menjadi habitat bagi berbagai spesies laut, termasuk ikan dan biota langka seperti penyu sisik dan Pari Manta Karang (Mobula alfredi). Biota laut ini merupakan salah satu daya tarik utama di Raja Ampat, Indonesia.
Penurunan kualitas air laut akibat pencemaran dari sisa tambang juga berpotensi merusak ekosistem mangrove yang berperan dalam mitigasi perubahan iklim.
Baca Juga:
Rakyat Menjerit Ancaman Proyek Tambang, Pemkab Raja Ampat Terkesan Tidak Menyikapi Persoalan
Pohon-pohon yang ditebang dan lubang-lubang terbuka dari kerikil serta tanah berwarna hingga-coklat merusak pulau-pulau tempat penambangan dimulai. Sedimen dari tambang terbawa oleh arus laut dan menumpuk di sepanjang pantai, mengancam kehidupan bawah laut. berisiko merusak terumbu karang dan ekosistem sekitarnya, mengingat Raja Ampat adalah salah satu kawasan dengan biodiversitas laut tertinggi di dunia.
Penambangan yang terus berlangsung juga menyebabkan adanya limbah ke laut, yang mengakibatkan sedimentasi berlebih. Aliran lumpur ini menutupi terumbu karang, mengurangi penetrasi cahaya matahari, serta menghambat fotosintesis alga yang menjadi sumber makanan bagi banyak spesies laut, akibatnya, ekosistem laut mengalami kerusakan berkelanjutan, mengganggu populasi ikan dan organisme laut lainnya.
Pada usia Kabupaten Raja Ampat yang ke 22 tahun, kini menjadi sorotan akibat ekspansi Izin Usaha Pertambangan tambang Nikel yang berpotensi rusaknya lingkungan laut dan hutan alam di kawasan yang dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia.
Dalam lima tahun terakhir, area pertambangan nikel di Raja Ampat bertambah sekitar 494 hektar, naik drastis dibanding periode sebelumnya, meski Mahkamah Konstitusi Indonesia pada Maret 2024 telah mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil harus mendapatkan perlindungan khusus dari aktivitas berbahaya seperti penambangan, izin eksploitasi tetap dikeluarkan oleh pemerintah.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku pariwisata di Raja Ampat, aktivis lingkungan, dan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sektor perikanan dan pariwisata.
Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata bahari dunia, tetapi juga memiliki ekosistem yang sangat sensitif terhadap eksploitasi industri ekstraktif. Namun, beberapa pulau di wilayah ini telah diberikan izin usaha pertambangan (IUP) Nikel.
Kerentanan di pesisir yang sifatnya tidak hanya ekologis, tetapi juga kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Pemerintah seharusnya lebih tegas menyikapi gerakan penolakan masyarakat terhadap rencana eksploitasi Tambang Nikel di pulau Manyaifun dan Batang Pele ini demi melindungi kehidupan masyarakat lokal dan konservasi alam Kabupaten Raja Ampat.
Jika kebijakan ekstraktif terus berlanjut, maka Raja Ampat yang kaya akan biodiversitas akan berubah menjadi kawasan bisnis pertambangan yang hanya menguntungkan oligarki.
Rencana eksploitasi pertambangan berisiko tinggi tentunya akan berdampak pada degradasi ekosistem wilayah, terutama di pulau-pulau kecil Manyaifun dan Batang Pele. Tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan,rencana kegiatan pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa di pulau Manyaifun dan Batang Pele, dikhawatirkan berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan, dan memicu kerawanan sosial yang beroperasi konflik horizontal masyarakat.
Ronisel Mambrasar, seorang pemuda Kampung Manyaifun berharap pada usia ke 22 Kabupaten Raja Ampat, Pemerintah tak hanya menyampaikan narasi kosong terkait sektor unggulan Pariwisata, perikanan dan ekonomi kreatif, namun pemerintah bisa melakukan tindakan nyata untuk melindungi keanekaragaman hayati di Kabupaten Raja Ampat.
"Dalam perayaan Hut Kabupaten Raja Ampat kami masyarakat manyaifun menyampaikan pesan tertulis melalui kertas pamflet sebagai bentuk dukungan kami kepada pemerintah untuk menjaga alam Raja Ampat sebagai pusat konservasi alam di Bumi Cendrawasih," ucapnya.
Ia berkeyakinan penuh, apabila PT Mulia Raymond Perkasa dipaksakan untuk mengeruk alam pulau Manyaifun dan batang Pele, maka dampak lingkungannya jelas, bahwa terjadi pencemaran logam berat di laut, dimana pertambangan nikel tidak hanya pencemaran air, tapi juga pencemaran udara, hancurnya hutan, serta penggusuran kebutuhan petani akibat ekspansi Tambang Nikel.
"Dampak lain yang tidak kalah penting adalah privatisasi wilayah pesisir, aktivitas industri ekstraktif tersebut pun berdampak kepada lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat. Ruang hidup mereka seolah terampas, ditandai dengan semakin terbatasnya akses masyarakat untuk melaut," ujarnya.
Ia mendesak pemerintah harus bertindak nyata menghentikan segala aktivitas industri ekstraktif pertambangan nikel untuk melindungi kawasan konservasi laut di Kabupaten Raja Ampat.
Sambungnya, kepada pemangku kepentingan untuk kembali menerapkan berbagai peraturan yang ada, seperti regulasi terkait pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai UU No 1 Tahun 2014 Perubahan UU Atas UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebelum memutuskan sebuah tindakan.
"Dalam UU No 1 Tahun 2014 dengan jelas melarang aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil seperti pulau Manyaifun dan Batang Pele. Sayang, lemahnya penegakan hukum memperlihatkan kurangnya komitmen pemerintah dalam melindungi ekologi dan keberlanjutan hidup masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia mestinya bertujuan untuk melindungi konservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya alam, serta sistem ekologi secara berkelanjutan," pungkasnya.
Juru Kampanye Gerakan Malamoi Fiktor Kafiyu, menyampaikan Raja Ampat Surga di satu sisi, tetapi terdapat kehancuran di sisi lain, surga di Raja Ampat kini sebagian pulau telah berubah menjadi suram.
Keindahan alam Raja Ampat yang tiada banding di dunia mencakup gugusan pulau-pulau dengan hutan hujan tropis,perairan sebening kristal yang menyimpan keanekaragaman hayati bawah laut yang tak ditemukan di tempat lain.
Gugusan pulau di Raja Ampat juga menjadi rumah bagi masyarakat adat yang telah menjaga tradisi dan hidup harmoni dengan alam semesta selama ribuan generasi, namun dibalik keindahan alam yang memukau ada aktivitas kerusakan yang terus masif terjadi, ekosistem Raja Ampat yang kian rapuh akibat kebijakan dan aktivitas industri pertambangan nikel yang tidak henti mengejar keuntungan di beberapa pulau Raja Ampat.
“Orang-orang di negara maju menikmati kendaraan listrik dari nikel, sementara kami di Papua harus menanggung dampak buruknya hingga anak cucu kami,” kata Fiktor Kafiyu.
Lanjut dia, para pemangku kebijakan kini telah tergiur oleh keuntungan dari sektor pertambangan Nikel di Raja Ampat, hal ini telah mengorbankan pulau-pulau kecil yang menopang ekosistem alam, tidak hanya sampai di situ belakangan ini terdapat rencana eksploitasi pulau Manyaifun dan Batang Pele yang telah dimiliki Izin Usaha Pertambangan Nikel milik PT Mulia Raymond Perkasa seluas 2.194 hektare.
Rencana ekspansi pertambangan ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat lokal, yang khawatir akan dampak lingkungan dan sosial. Masyarakat menilai bahwa kehadiran tambang akan merusak ekosistem, memicu konflik sosial, serta mengancam mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata. aktivitas bisnis ekstraktif tambang nikel akan menggunduli hutan, mencemari lingkungan sekitar, dan merusak ekosistem perairan laut.
Wilayah Raja Ampat merupakan salah satu pulau ikonik dan dipromosikan menjadi warisan dunia. Masyarakat juga khawatir pertambangan nikel PT MRP akan menimbulkan konflik horizontal, kehilangan mata pencaharian dan pendapatan ekonomi masyarakat.
Kehadiran eksploitasi nikel juga akan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan pencemaran perairan laut, perusakan ekosistem bawah laut, habitat dan biota laut, perusakan wilayah pesisir yang pada gilirannya akan mendatangkan bencana bagi penduduk dan nelayan setempat, seperti tangkapan ikan berkurang dan pendapatan berkurang, sehingga Masyarakat akan kesulitan melaut dengan jarak yang lebih jauh, biaya besar dan mahal.
Raja Ampat yang dijuluki Jantung Segitiga Karang Dunia, kini berubah nama menjadi jantung investasi nikel secara masif, perizinan tambang mulai diberikan, investor berlomba-lomba merebut kejayaan Raja Ampat.
Alam dikeruk, hutan menjadi gundul, laut berubah warna. Kini 22 tahun adalah sejarah kejayaan dan kehancuran konservasi bahari Kabupaten Raja Ampat.
“Ekspansi tambang nikel di Raja Ampat menimbulkan dilema antara kebutuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Indonesia beresiko kehilangan salah satu ekosistem laut terkaya di dunia. Pemerintah perlu lebih serius dalam menerapkan kebijakan yang mendukung keberlanjutan agar sumber daya laut tetap lestari, tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat pesisir yang bergantung pada kelestarian ekosistem perairan. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan masa depan keanekaragaman hayati laut Indonesia untuk generasi mendatang,” demikian Fiktor Klafiyu.
[Redaktur: Hotbert Purba]