PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Sorong - Institut USBA memandang bahwa setiap kebijakan transisi energi nasional di Papua harus belajar dari sejarah, bukan mengulanginya.
Usulan penanaman kelapa sawit skala besar untuk biofuel adalah jalan mundur yang membahayakan, sebuah kegagalan yang ingin dipaksakan kembali.
Baca Juga:
Satu Unit Usaha Wilmar International Tersandung Kasus Penipuan di China
Di Sumatera dan Kalimantan, jejak kehancurannya nyata: deforestasi masif telah memicu bencana alam seperti banjir bandang dan longsor yang semakin kerap dan merusak, konflik agraria memanas, dan masyarakat terpinggirkan di atas tanahnya sendiri.
Pola yang sama tidak boleh dijadikan cetak biru untuk masa depan Papua. Lebih dari sekadar proyek teknis, pembangunan di Papua adalah persoalan kedaulatan.
Hal ini disampaikan Direktur Institut USBA Charles Imbir dalam siaran persnya dikutip Rabu (24/12/2025).
Baca Juga:
Institut USBA dan Pelajar di Raja Ampat Tanam 1.500 Bibit Mangrove di Kampung Wisata Arborek
Sambungnya, Otonomi Khusus diberikan untuk mengakui hak-hak dasar orang Papua, termasuk hak untuk menentukan model pembangunan yang selaras dengan nilai budaya, kelestarian ekologi, dan aspirasi kolektif mereka. Kebijakan yang dirumuskan secara sepihak, tanpa proses konsultasi dan persetujuan yang sah dari masyarakat adat, pada hakikatnya mengabaikan semangat dan hukum Otonomi Khusus itu sendiri.
Pemerintah sesungguhnya telah terikat secara hukum untuk mendasarkan kebijakan apa pun di Papua pada pengakuan hak-hak masyarakat adat. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Pasal 43) mewajibkan negara untuk mengakui, menghormati, melindungi, dan memberdayakan hak-hak tersebut, termasuk hak ulayat.
Ketentuan ini bersumber dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan diteguhkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Oleh karena itu, mengabaikan hak-hak adat dalam proyek energi bukan lagi soal kebijakan, melainkan pelanggaran terhadap mandat konstitusional Otonomi Khusus itu sendiri.
Ia mendesak dihentikannya segala perencanaan kebijakan energi berbasis konversi lahan skala besar, termasuk sawit, untuk Papua.
Sebuah moratorium harus diterapkan hingga sebuah mekanisme konsultasi dan pengambilan keputusan yang sah, setara, dan bermakna dengan masyarakat adat terbangun.
"Mekanisme ini harus memenuhi prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dan melibatkan representasi politik-kultural masyarakat adat Papua yang diakui secara sah. Dalam konteks ini, kami menyuarakan tuntutan mendesak untuk segera membangun dan mengakui sebuah mekanisme representasi politik-kultural yang permanen, sah, dan diakui negara yang sepenuhnya berasal dari dan bertanggung jawab kepada masyarakat adat Papua," ujar Charles Imbir.
Lanjutnya, sebuah dewan rakyat atau bentuk representasi lain yang legitimate harus menjadi mitra yang setara dengan pemerintah dalam merumuskan semua kebijakan strategis. Tanpa kelembagaan representasi yang legitimate, dialog akan selalu timpang dan kebijakan berisiko memicu konflik sosial baru.
Sebagai alternatif yang adil, berkelanjutan, dan telah terbukti bermanfaat langsung bagi komunitas, Papua memiliki potensi besar untuk memimpin transisi energi berbasis komunitas. Pengembangan energi surya, mikro-hidro, dan biomassa berbasis tanaman lokal yang tidak merusak hutan, dapat memberikan kedaulatan energi langsung bagi kampung-kampung, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga kelestarian alam. Model inilah yang sesungguhnya menjawab cita-cita kemandirian energi tanpa mengorbankan kedaulatan rakyat Papua.
“Mengusulkan sawit sebagai solusi energi di Papua adalah bentuk pengabaian terhadap sejarah dan realitas. Kita tidak boleh lagi terjebak pada ilusi bahwa keuntungan korporasi sama dengan kesejahteraan rakyat. Kedaulatan energi yang sesungguhnya bagi Papua hanya bisa lahir dari pengakuan terhadap kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan hutannya, serta pilihan pada teknologi energi terbarukan yang membumi dan berpihak pada rakyat,” demikian Charles Imbir.
[Redaktur: Hotbert Purba]