PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Sorong - Institut Usba dengan ini menyampaikan pernyataan resmi terkait isu terkini sengketa wilayah tiga pulau, yaitu Pulau Sain, Pulau Piyai, dan Pulau Kiyas diantara Provinsi Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Tengah) dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.
Berdasarkan kajian sejarah, administratif, dan budaya, Institut Usba menegaskan bahwa ketiga pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Raja Ampat yang diperkuat oleh pernyataan beberapa kepala suku adat yang menyatakan ketiga pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Raja Ampat.
Baca Juga:
Charles Imbir Kembali Nakhodai Hanura Provinsi PBD 2025-2030, DPC Raja Ampat: Hanura Tetap Konsisten di Garis Rakyat
Hal ini disampaikan Charles A.M Imbir, ST.,M.Si, selaku Direktur Institut Usba dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/9/2025).
Menurut pihaknya, Pulau terebut juga merupakan tempat moyang yang dikubur, tempat mencari masyarakat, tempat menjaga penyu yang dilakukan Yayasan Penyu Papua di Raja Ampat.
Sehubungan dengan hal tersebut, Institut Usba menyerukan beberapa poin penting sebagai berikut:
Baca Juga:
Laksanakan Musda dan Muscab Partai Hanura Provinsi PBD, Charles Imbir: Mengedepankan Gotong Royong, Bangun Negeri
I. Persatuan Adat dan Dialog Harmonis
Seluruh adat di Raja Ampat harus duduk bersama dengan adat di Maluku Utara dalam suasana dialog yang harmoni.
Persatuan antar komunitas adat adalah kunci menjaga kedamaian dan menghormati sejarah serta leluhur.
Institut USBA juga mendesak Pemerintah Pusat cq. Kemendagri untuk memfasilitasi forum adat lintas provinsi dengan melibatkan tokoh Raja Ampat, Maluku Utara, akademisi, dan kementerian teknis guna melakukan verifikasi sebagai bagian dari upaya resolusi konflik berbasis adat dan fakta sejarah.
Pemerintah harus memfasilitasi forum adat lintas wilayah untuk membahas sejarah bersama, pertalian budaya, dan tradisi yang merajut Raja Ampat dengan wilayah-wilayah Kesultanan Tidore / wilayah adat lain di Maluku Utara dan sekitarnya.
II. Penelitian Budaya dan Arkeologi
Sebagai Spirit Persatuan untuk kebaikan kemanusiaan dan pelestarian identitas adat, pemerintah wajib menggali lebih dalam ‘jejak budaya’ melalui penelitian arkeologi, sejarah, antropologi, dan budaya, agar fakta-fakta masa lalu tervalidasi dan dihormati.
Penelitian budaya harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan tokoh adat, masyarakat lokal, dan akademisi, dengan hasil yang dapat diakses publik sebagai warisan kolektif bangsa.
III. Pentingnya Kejelasan Administratif dan Batas Wilayah dalam Pemekaran Daerah
Penetapan batas antar kabupaten atau provinsi tidak boleh dilakukan sepihak tanpa konsultasi adat dengan mengabaikan sejarah, peta kewilayahan adat, serta dokumen legal yang ada. Ini sangat penting dan mendasar untuk dilakukan agar tidak memisahkan masyarakat adat dari wilayah adat mereka sendiri.
Proses pemekaran dan penetapan batas administratif harus diiringi dengan pendataan adat yang sah, peta wilayah adat yang diakui, dan masyarakat adat harus menjadi pihak yang dilibatkan penuh dalam mengambil keputusan.
IV. Otonomi Khusus dan Pengelolaan
Wilayah Adat dan SDA yang bermartabat
otonomi khusus tidak hanya berkaitan dengan kewenangan dan anggaran, tetapi juga harus fokus pada pengelolaan tata ruang wilayah adat serta sumber daya alam secara bermartabat dan setara.
Pemerintah daerah harus memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat dilakukan dengan penghormatan terhadap adat, keberlanjutan lingkungan, dan pembagian manfaat yang adil bagi masyarakat adat sesuai prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent).
Pemanfaatan SDA harus memperhatikan nilai-nilai budaya, hak atas ruang hidup tradisional, dan potensi pelestarian lokal agar tidak terjadi eksploitasi yang menyingkirkan atau merugikan masyarakat adat.
V. Penguatan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
Pemerintah perlu menguatkan lembaga adat lokal agar mereka memiliki ruang dan kapasitas dalam pengelolaan wilayah adat, penyelesaian konflik adat, serta pelestarian tradisi.
Penguatan dimaksud termasuk pemberian dana yang transparan, pelatihan manajemen adat, pengakuan hukum yang jelas atas struktur adat, dan dukungan koordinatif antara pemerintah pusat dan daerah dengan komunitas adat.
Masyarakat adat harus dilibatkan dalam semua tahap kebijakan yang menyentuh wilayah, budaya, batas administratif, dan pemanfaatan SDA — dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi.
VI. Kesimpulan dan Harapan
Sengketa atas Pulau Sain, Pulau Piyai, dan Pulau Kiyas bukanlah sekadar masalah administrative, ini adalah persoalan keadilan sejarah, identitas budaya, dan hak leluhur yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Institut Usba berharap bahwa pemerintah pusat dan daerah akan mendengarkan suara masyarakat adat, mengambil tindakan yang berdasarkan fakta sejarah dan legalitas, serta memprioritaskan persatuan dan keharmonisan di tengah keragaman budaya.
Institut Usba percaya bahwa dengan usaha bersama adat, pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil keutuhan adat dan wilayah adat akan terjaga, sehingga konflik seperti ini tidak terulang di masa mendatang.
[Redaktur: Hotbert Purba]