Sejatinya "Kang Sejo" berupa buku bunga rampai kolom-kolom Sobary, sebagaimana Mahbub Junaidi mengumpulkan "Asal-usul" menjadi sebuah gerumbul kritikan tajam yang sedemikian halus terhadap kesewenang-wenanhan penguasa otoriter zaman itu, Soeharto.
Richard Rorty bilang, jika pers kelu, sastralah yang bicara dan itu dilakukan Seno Gumira Ajidarma lewat cerpen-cerpen hiperealitasnya.
Baca Juga:
Ketua Umum IWO, Jodhi Yudono: Wartawan Tidak Boleh Minder dan Rendah Diri
Bagi Mahbub bukan sastra yang bicara, tetapi kolom. Tujuannya sama saja, mengeritik realita terkait sepak terjang penguasa yang semena-mena tetapi murka kalau kena kritik.
Sobary, lewat kolom-kolomnya, lebih memotret realitas sosial yang terjadi pada zamannya, tetapi dengan metafora Jawa yang mudah diterima.
Ia seolah-selah memaksa liyan yang bukan Jawa memahami budaya Jawa dalam tindakan keseharian.
Baca Juga:
RAKERNAS IWO 2021, Usung Tema “Kesadaran Kebangsaan Wartawan Online di Tengah Digitalisasi Media”
Salah satu tulisan dalam "Kang Sejo", yaitu "Naik Mercy Uro-uro", Sobary berbicara tentang determinisme kultural Jawa yang sedemikian halus (jauh dari kesan kasar), tetapi sesungguhnya memaksa liyan (non-Jawa) "berkiblat" ke Jawa dan mengakui betapa Jawa adalah "pusat dunia".
Dengan demikian filsafat itu menggugurkan argumen sejarah Jawa sebagai sejarahnya orang-orang yang kalah dan karenanya filsafat Jawa cermin sikap hidup orang yang kalah, sebagaimana alinea pembuka kolomnya.
Menurut Sobary, orang Jawa lebih cenderung mencanggih-canggihkan tata krama dan kehalusan di mana kepriayian dan kebudayaan adiluhung menjadi semacam kebanggaan dan mungkin tujuan.