Sejatinya "Kang Sejo" berupa buku bunga rampai kolom-kolom Sobary, sebagaimana Mahbub Junaidi mengumpulkan "Asal-usul" menjadi sebuah gerumbul kritikan tajam yang sedemikian halus terhadap kesewenang-wenanhan penguasa otoriter zaman itu, Soeharto.
Richard Rorty bilang, jika pers kelu, sastralah yang bicara dan itu dilakukan Seno Gumira Ajidarma lewat cerpen-cerpen hiperealitasnya.
Baca Juga:
Dewan Pers Fitnah dan Bohong, Dilaporkan Ketua IWO Sumut Ke Polda Metro Jaya
Bagi Mahbub bukan sastra yang bicara, tetapi kolom. Tujuannya sama saja, mengeritik realita terkait sepak terjang penguasa yang semena-mena tetapi murka kalau kena kritik.
Sobary, lewat kolom-kolomnya, lebih memotret realitas sosial yang terjadi pada zamannya, tetapi dengan metafora Jawa yang mudah diterima.
Ia seolah-selah memaksa liyan yang bukan Jawa memahami budaya Jawa dalam tindakan keseharian.
Baca Juga:
Ini Pesan Wakil Ketua DPP Gerindra Rahayu Saraswati Dalam Musda TIDAR Jambi
Salah satu tulisan dalam "Kang Sejo", yaitu "Naik Mercy Uro-uro", Sobary berbicara tentang determinisme kultural Jawa yang sedemikian halus (jauh dari kesan kasar), tetapi sesungguhnya memaksa liyan (non-Jawa) "berkiblat" ke Jawa dan mengakui betapa Jawa adalah "pusat dunia".
Dengan demikian filsafat itu menggugurkan argumen sejarah Jawa sebagai sejarahnya orang-orang yang kalah dan karenanya filsafat Jawa cermin sikap hidup orang yang kalah, sebagaimana alinea pembuka kolomnya.
Menurut Sobary, orang Jawa lebih cenderung mencanggih-canggihkan tata krama dan kehalusan di mana kepriayian dan kebudayaan adiluhung menjadi semacam kebanggaan dan mungkin tujuan.