Wahananews-Papua Barat | Saya ingin bercerita tentang dua sosok ini, Sobary dan Jodhi.
Mohammad Sobary, orang pertama yang saya sebutkan, adalah budayawan yang saya kenal "hanya" lewat satu buku yang ditulisnya, "Kang Sejo Melihat Tuhan" (selanjutnya saya sebut "Kang Sejo").
Baca Juga:
Dewan Pers Fitnah dan Bohong, Dilaporkan Ketua IWO Sumut Ke Polda Metro Jaya
Tentu lebay, karena saya membaca ratusan tulisannya berupa kolom dan opini yang terserak di berbagai media ternama pada zamannya, khususnya "Kompas" dan "Tempo".
Jodhi Yudono adalah wartawan purnatugas Kompas.com yang larut dalam berkesenian.
Ia multitalenta, tulisan fiksinya berupa cerita bersambung (novel) sangat liar, tapi memukul kesadaran, padahal hanya bercerita tentang keseharian.
Baca Juga:
Ini Pesan Wakil Ketua DPP Gerindra Rahayu Saraswati Dalam Musda TIDAR Jambi
Ia juga penyanyi dan mahir manandai puisi menjadi syair lagu yang dinyanyikannya sendiri.
Ia juga trubador bagi anak-anak yang takzim mendengar cerita-ceritanya. Saat saya bertemu, ia demisioner sebagai Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO).
Baiklah saya cerita satu-persatu tentang mereka, tapi maaf tidak ada kopi yang tersaji, Anda bikin sendiri-sendiri saja ... ya.
Sejatinya "Kang Sejo" berupa buku bunga rampai kolom-kolom Sobary, sebagaimana Mahbub Junaidi mengumpulkan "Asal-usul" menjadi sebuah gerumbul kritikan tajam yang sedemikian halus terhadap kesewenang-wenanhan penguasa otoriter zaman itu, Soeharto.
Richard Rorty bilang, jika pers kelu, sastralah yang bicara dan itu dilakukan Seno Gumira Ajidarma lewat cerpen-cerpen hiperealitasnya.
Bagi Mahbub bukan sastra yang bicara, tetapi kolom. Tujuannya sama saja, mengeritik realita terkait sepak terjang penguasa yang semena-mena tetapi murka kalau kena kritik.
Sobary, lewat kolom-kolomnya, lebih memotret realitas sosial yang terjadi pada zamannya, tetapi dengan metafora Jawa yang mudah diterima.
Ia seolah-selah memaksa liyan yang bukan Jawa memahami budaya Jawa dalam tindakan keseharian.
Salah satu tulisan dalam "Kang Sejo", yaitu "Naik Mercy Uro-uro", Sobary berbicara tentang determinisme kultural Jawa yang sedemikian halus (jauh dari kesan kasar), tetapi sesungguhnya memaksa liyan (non-Jawa) "berkiblat" ke Jawa dan mengakui betapa Jawa adalah "pusat dunia".
Dengan demikian filsafat itu menggugurkan argumen sejarah Jawa sebagai sejarahnya orang-orang yang kalah dan karenanya filsafat Jawa cermin sikap hidup orang yang kalah, sebagaimana alinea pembuka kolomnya.
Menurut Sobary, orang Jawa lebih cenderung mencanggih-canggihkan tata krama dan kehalusan di mana kepriayian dan kebudayaan adiluhung menjadi semacam kebanggaan dan mungkin tujuan.
Ia mencontohkan, orang Jawa menyebut sesama Jawa yang bersikap kasar dengan "ora njawani" (tidak bersikap Jawa) atau bahkan "durung Jowo" (belum menjadi Jawa) karena cuma yang halus dan luhurlah yang diakui sebagai "wis Jowo" (sudah Jawa). Diam-diam, kata Sobary, orang Jawa yang pandai membungkuk itu suka merasa paling unggul.
Contoh lain, adanya dikotomi "tanah Jawa-tanah sabrang" (seberang) dalam hidup orang Jawa menurut Sobary berangkat dari rasa unggul (secara kultural).
"Tapi orang 'seberang' bahkan orang bule sekalipun, kalau ia halus, oleh orang Jawa disebut sebagai 'Jawa'. Seolah-olah hanya orang Jawa yang punya kehalusan. Seorang teman saya bahkan tidak malu-malu menyebut bule yang sarungan saja sebagai 'bule yang njawani'," tulis Sobary.
Saat perjumpaan dengannya di mana ia didapuk sebagai pembuka musyawarah bersama IWO, Jumat 2 Desember 2022, Sobary selintas bercerita tentang perjalanan kepenulisannya.
Ia mengaku tidak pernah jadi wartawan, tetapi di tahun 1970-an saat masih mahasiswa, "melamar" Gadis (nama majalah khusus remaja perempuan) untuk jalan-jalan kemana ia suka, sekaligus meminta "uang jalan".
Sebagai imbalannya, majalah "Gadis" menerima laporan tulisan berupa catatan perjalanannya itu. Sesuatu yang janggal. "Anehnya redaktur 'Gadis' mau saja," katanya.
Sobary fasih bercerita tentang para penulis sezamannya atau mengatasi zamannya seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Mahbud Junaidi dan Emha Ainun Nadjib.
Ia menolak dipersamakan dengan mereka secara kualitas tulisan. "Mereka para senior saya," kilahnya.
Adapun Jodhi, pada suatu masa ia pernah menjadi "bawahan" saya di Kompas.com di mana saya menjabat redaktur pelaksana dan ia redaktur budaya. Itu dalam hirarki birokrasi, namun demikian dalam keseharian dan karya tulis, Jodhi adalah senior saya.
Ia menulis budaya tanpa target kuantitas dalam arti "laissez-faire" saja alias suka-suka. Tetapi sekali menulis, tulisan itu demikian "bertenaga" dan diklik banyak pembaca, padahal bukan berita politik, tetapi tulisan tentang realitas budaya yang dianut masyarakat saat itu.
Pada musyawarah besar IWO di mana ia telah menjadi ketua umum selama lima tahun terakhir, ia memilih legowo untuk mundur dari pertarungan perebutan posisi orang nomor satu di organisasi profesi itu dengan mencabut kembali keikutsertaannya.
"Saya malu dan harus tahu diri," katanya tentang pengunduran dirinya dari pencalonan.
"Malu karena banyak orang muda dan saya memberi kesempatan kepada yang muda-muda. Saya juga tahu diri karena sudah tua. Lagi pula, kalau saya maju lagi kesannya mengejar kekuasaan," kata Jodhi kepada saya pribadi.
Dari perjumpaan dengan dua sosok ini, cukuplah saya belajar tentang kearifan hidup, yang mungkin tidak akan saya temukan di buku-buku tebal filsafat moral. [hot]
Penulis : Pepih Nugraha
Editor : Hotbert Purba