Ia mencontohkan, orang Jawa menyebut sesama Jawa yang bersikap kasar dengan "ora njawani" (tidak bersikap Jawa) atau bahkan "durung Jowo" (belum menjadi Jawa) karena cuma yang halus dan luhurlah yang diakui sebagai "wis Jowo" (sudah Jawa). Diam-diam, kata Sobary, orang Jawa yang pandai membungkuk itu suka merasa paling unggul.
Contoh lain, adanya dikotomi "tanah Jawa-tanah sabrang" (seberang) dalam hidup orang Jawa menurut Sobary berangkat dari rasa unggul (secara kultural).
Baca Juga:
Dewan Pers Fitnah dan Bohong, Dilaporkan Ketua IWO Sumut Ke Polda Metro Jaya
"Tapi orang 'seberang' bahkan orang bule sekalipun, kalau ia halus, oleh orang Jawa disebut sebagai 'Jawa'. Seolah-olah hanya orang Jawa yang punya kehalusan. Seorang teman saya bahkan tidak malu-malu menyebut bule yang sarungan saja sebagai 'bule yang njawani'," tulis Sobary.
Saat perjumpaan dengannya di mana ia didapuk sebagai pembuka musyawarah bersama IWO, Jumat 2 Desember 2022, Sobary selintas bercerita tentang perjalanan kepenulisannya.
Ia mengaku tidak pernah jadi wartawan, tetapi di tahun 1970-an saat masih mahasiswa, "melamar" Gadis (nama majalah khusus remaja perempuan) untuk jalan-jalan kemana ia suka, sekaligus meminta "uang jalan".
Baca Juga:
Ini Pesan Wakil Ketua DPP Gerindra Rahayu Saraswati Dalam Musda TIDAR Jambi
Sebagai imbalannya, majalah "Gadis" menerima laporan tulisan berupa catatan perjalanannya itu. Sesuatu yang janggal. "Anehnya redaktur 'Gadis' mau saja," katanya.
Sobary fasih bercerita tentang para penulis sezamannya atau mengatasi zamannya seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Mahbud Junaidi dan Emha Ainun Nadjib.
Ia menolak dipersamakan dengan mereka secara kualitas tulisan. "Mereka para senior saya," kilahnya.