Adapun Jodhi, pada suatu masa ia pernah menjadi "bawahan" saya di Kompas.com di mana saya menjabat redaktur pelaksana dan ia redaktur budaya. Itu dalam hirarki birokrasi, namun demikian dalam keseharian dan karya tulis, Jodhi adalah senior saya.
Ia menulis budaya tanpa target kuantitas dalam arti "laissez-faire" saja alias suka-suka. Tetapi sekali menulis, tulisan itu demikian "bertenaga" dan diklik banyak pembaca, padahal bukan berita politik, tetapi tulisan tentang realitas budaya yang dianut masyarakat saat itu.
Baca Juga:
Ketua Umum IWO, Jodhi Yudono: Wartawan Tidak Boleh Minder dan Rendah Diri
Pada musyawarah besar IWO di mana ia telah menjadi ketua umum selama lima tahun terakhir, ia memilih legowo untuk mundur dari pertarungan perebutan posisi orang nomor satu di organisasi profesi itu dengan mencabut kembali keikutsertaannya.
"Saya malu dan harus tahu diri," katanya tentang pengunduran dirinya dari pencalonan.
"Malu karena banyak orang muda dan saya memberi kesempatan kepada yang muda-muda. Saya juga tahu diri karena sudah tua. Lagi pula, kalau saya maju lagi kesannya mengejar kekuasaan," kata Jodhi kepada saya pribadi.
Baca Juga:
RAKERNAS IWO 2021, Usung Tema “Kesadaran Kebangsaan Wartawan Online di Tengah Digitalisasi Media”
Dari perjumpaan dengan dua sosok ini, cukuplah saya belajar tentang kearifan hidup, yang mungkin tidak akan saya temukan di buku-buku tebal filsafat moral. [hot]
Penulis : Pepih Nugraha
Editor : Hotbert Purba