PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO - Sebelum saya menjabarkan beberapa hal terkait topik diatas, ada satu pertanyaan dasar yang perlu dipahami bersama oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan, pemodal sebagai (businessman) dan masyarakat yang adalah subyek dan obyek dari pariwisata dan tambang, tulis David Dimara yang saat ini menempuh ilmu Pariwisata di Florida Amerika Serikat melalui akun Facebook miliknya.
"Mengapa Tambang dan Pariwisata tidak boleh ada secara bersamaan di suatu daerah, apalagi di Raja Ampat yang notabene daerah Khusus Pariwisata"
Baca Juga:
Anggota DPD RI Dapil Papua Barat Daya Soroti Izin Tambang di Raja Ampat, Ancaman Bagi Tujuan Pariwisata Kelas Dunia
Pertama, pariwisata dan pertambangan memiliki tujuan dan dampak yang tidak sama atau bertolak belakang. Pariwisata bergantung pada keindahan alam, budaya, dan keberlanjutan lingkungan (sustainability), sedangkan tambang cenderung merusak ecosystem dan menciptakan polusi.
Kedua, dampak sosial negative yang bertolak belakang. Pariwisata membutuhkan keterlibatan masyarakat sebagai tuan rumah yang ramah, sedangkan tambang sering menyebabkan konflik lahan dengan masyarakat, merusak harmoni sosial. Kemudian, hal ini akan memicu pergeseran mata pencaharian.
Jika tambang beroperasi, masyarakat lokal lebih memilih bekerja di tambang karena gaji lebih tinggi dalam jangka pendek, namun kehilangan keberlanjutan dalam jangka panjang ketika tambang tutup.
Baca Juga:
Dugaan Pembengkakan Anggaran, Arfan Poretoka SH: Ketua TAPD Raja Ampat Jangan Pura-pura Buta
Ketiga, pariwisata memberikan keuntungan jangka panjang, dan tambang hanya menguntungkan dalam jangka pendek. Sektor wisata bisa bertahan selamanya jika dikelola dengan baik. Nah tambang, ketika sumberdaya habis, tambang ditutup dan meninggalkan kerusakan permanen. Banyak daerah bekas tambang berubah menjadi kota atau tempat yang mati, sementara pariwisata justru bisa berkembang lebih lama.
Selanjutnya, mari kita berfikir terkait dampak lingkungan yang akan terjadi terhadap pariwisata Raja Ampat, jika operasi pertambangan di Raja Ampat terus dilakukan kedepan?
Pada tahun 2003, sejak Raja Ampat terpisah dari Kabupaten Sorong dan di bawah pimpinan Alm. Marcus Wanma dan Alm. Inda Arfan, ada banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk pariwisata Raja Ampat. Salah satu upaya yang sangat dominan adalah upaya konservasi. Hal ini merupakan ikhtiar untuk tidak memberikan celah bagi perusahaan pertambangan untuk masuk ke Raja Ampat.
Pemerintah Raja Ampat bersama dengan LSM seperti, CI (Conservation Indonesia), dan TNC (the National Nature Conservation Foundation), berhasil menerbitkan aturan awal terkait Marine Conservation Area pada tahun 2004 dan diperbaharui pada tahun 2019.
Pada tahun 2007, pemerintah Raja Ampat berhasil menerbitkan Marine Protection Area (Daerah Perlindungan Laut) yang berjumlah 10 MPA dengan total wilayah sebesar 35,000 kilometer persegi dan sekitar 45 percent dari total terumbu karang dan mangrove di wilayah tersebut.
Termasuk salah satu daerah yang banyak sekali diterapkan MPA adalah di Waigeo Barat dan Waigeo Barat kepulauan. Ini protected area yang rencana nya akan ada salah satu perusahaan tambang di Wilayah Kampung Manyaifun.
Kita harus memahami bahwa Raja Ampat terletak pada pusat jantung segitiga karang dunia. Apa itu jantung segitiga karang dunia?
Jantung segitiga karang dunia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut di seluruh dunia. Wilayah ini mencakup Philippines, Solomon Island, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor-Leste, dan wilayah ini tergolong cukup kecil tetapi memiliki hampir sebagian besar species biota laut yang ada di dunia dibandingkan tempat lain dimanapun di seluruh dunia.
Lebih dari 3000 species ikan dan 6 dari 7 species penyu hidup di daerah segitiga karang dunia. Raja Ampat memiliki lebih dari 1.600 species ikan karang, 75% species karang di dunia, 6 dari 7 jenis penyu yang terancam punah, dan 17 species mamalia laut (sumber; Blud Uptd, Raja Ampat).
Dari kekayaan sumber daya laut diatas, pemerintah Kabupaten Raja Ampat harus secara konsisten dan tegas menerapkan ‘Sustainable Development Plan’ dalam setiap kebijakan yang dilakukan. Hal ini bertujuan agar kedepan tidak ada lagi celah bagi para pemodal untuk mendapatkan ijin tambang di Raja Ampat.
Dan oleh sebab itu, sebagai salah satu anak muda yang juga berasal dari Waigeo Barat, Raja Ampat, dan sedang menempuh study Pariwisata di Amerika Serikat, saya dengan tegas menolak tambang di Raja Ampat.
Saya sangat mendukung upaya-upaya penolakan yang dilakukan oleh teman-teman Persatuan Pelaku Usaha Wisata di Raja Ampat dan pemuda-pemudi di Kampung Manyaifun untuk menolak Perusahaan Tambang di Raja Ampat.
Penulis : David Dimara, Florida-Amerika Serikat
Editor : Hotbert Purba