PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Raja Ampat - Masyarakat Raja Ampat kembali dikejutkan dengan pemberian izin oleh Kementerian ESDM kepada PT Gag Nikel untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam di Pulau Gag, Distrik Waigeo Barat Kepulauan Raja Ampat.
Izin yang diketahui, sebelumnya telah dibekukan oleh Presiden Prabowo melalui Kementerian Lingkungan Hidup pada tanggal 10 Juni 2025, karena telah menimbulkan sedimentasi dan mencemari pesisir pantau dan laut sekitar Pulau Gag.
Baca Juga:
Susi Pujiastuti Desak Presiden Prabowo Turun Tangan dan Hentikan Eksploitasi Alam Raja Ampat
Setelah kurang lebih tiga bulan tidak beroperasi, PT Gag Nikel dibolehkan beroperasi oleh Kementerian ESDM dengan alasan dalam rangka untuk evaluasi audit lingkungan secara menyeluruh.
Adapun demikin, izin operasi tersebut lantas di soroti oleh Rudi Dimara, Spesialis Monitoring Ikan dan Karang yang merupakan eks aktivis dari LSM Conservation International (CI).
Rudi menyebut, pemberian izin produksi kepada PT Gag Nikel merupakan ancaman serius kepada mamalia laut di perairan waigeo barat.
Baca Juga:
Tambang Nikel Pulau Gag Kembali Beroperasi: Antara Janji Ekonomi dan Kekhawatiran Lingkungan di Raja Ampat
Apalagi dijelaskannya, perairan Pulau Gag dan Pulau Manyaifun merupakan kawasan penyebaran dan migrasi Hiu Paus, Lumba-Lumba, Pari Manta dan jenis Mamalia laut lainnya.
Kawasan penyebaran dan migrasi sebagaimana dijelaskan Rudi, bahwa setiap tahunnya, semua jenis Mamalia laut melakukan perjalanan dari Pacific dan wilayah timur dengan jalur Pulau Gag dan Manyaifun hingga ke Pulau Kawei dan Wayag sampai ke Philippin.
"Perairan Pulau Gag itu kawasan penyebaran dan migrasi Mamalia laut. Lumba-Lumba, paus, semua yang datang dari Pacific melalui timur, akan keluar melalui perairan Pualu Gag dan Pulau Manyaifun," ujar Rudi.
Selain itu, Rudi juga menjelaskan, spesies Hiu Paus yang saat ini terkenal di Teluk Kaimana juga berimigras ke Philippin melalui kawasan tersebut. Sehingga, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat bagian barat merupakan ancaman serius terhadap semua spesies laut, bukan hanya terhadap Ikan, tapi juga terhadap Karang.
"Tambang dibuka, lingkungan akan tercemar dan air laut juga sudah pasti terkontaminasi dengan limbah tambang. Dan ini ancaman serius terhadap semua jenis biota laut " urainya.
Lebih lanjut dijelaskan, ancaman utama Mamalia laut bukan hanya soal pencemaran lingkungan, melainkan bunyi bising dari mesin kapal tukboat.
Memiliki keahlian sebagai Spesialis Monitoring Ikan dan Karang semasa bekerja di Conservation International, Rudi juga menjelaskan, jumlah spesies ikan dan jumlah karang di Raja Ampat tidak ditemui dibelahan dunia manapun.
Salah satu faktor pendukung utama yang menjadikan Raja Ampat unggul dan dinobatkan sebagai Segita Karang Dunia karena, semua jenis karang di Raja Ampat dikenal sehat dan tahan terhadap perubahan suhu apapun.
Hal ini dijelaskan Rudi, karang dan Ikan di perairan Raja Ampat mendapatkan suplai nutrisi dari Pacific yang dikirim melalui arus dari Kepulauan Mapia.
"Kenapa Raja Ampat memiliki populasi Ikan yang lebih tinggi dan jumlah karang yang banyak.? Semua karena nutrisi dari Pacific. Dikirim dari mana.? Ada dua arus. Arus pertama datang dari Mapia hingga Biak lalu dikirim ke Raja Ampat. Yang kedua, arus balik dari Karangele, Palao dan Philippin. Nutrisi ini dikirim melalui Pulau-pulau Kawei dan Wayag, serta Pulau Manyaifun dan Pulau Gag sampi ke perairan Pacific," jelas Rudi Dimara.
Hal tersebut Sambung Rudi, menjadikan Raja Ampat terkenal dan dinobatkan sebagai Segita Karang Dunia, yang selanjutnya menjadi tujuan wisata bawah laut terbaik dunia.
"Orang menyelam dan lihat, Ikan banyak, karang sehat, kenapa.? Karena nutrisi yang dikirim itu. Masuk juga melalui Pulau Sain dan Pyai, lalu dari Wayag dan Kawei selanjutnya Pulau Gag dan Manyaifun hingga sampai ke Timur Pacific " jelas dia.
Rudi lantas mengecam keras kebijakan yang diambil Negara melalui Kementrian ESDM, Ia menilai, tambang bukan hanya menjadi ancaman terhadap alam dan lingkungan, namun turut membunuh keberlanjutan masyarakat Raja Ampat di pesisir Barat yang bergantung hidup di laut.
[Redaktur: Hotbert Purba]