Namun, posisi masyarakat adat dalam tata kelola hutan dan sumber daya alam tetap lemah dan tidak dilindungi secara efektif.
Ia bilang mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) masih diabaikan, dan kelembagaan adat sering disubordinasikan oleh kebijakan sektoral negara.
Baca Juga:
Institut USBA Soroti Keppres No. 110P Tahun 2025: “Duplikasi Kelembagaan dan Sentralisasi Baru di Bawah Nama Otsus”
Dalam konteks inilah, pembangunan yang mengatasnamakan “percepatan dan pemerataan” justru menjadi instrumen baru dari perampasan ruang hidup dan pelemahan kedaulatan adat.
Papua Butuh Pengakuan atas Kedaulatan Adat dan Ekologinya bagi Papua, tantangan utama bukanlah kekurangan lembaga, melainkan absennya pengakuan terhadap kedaulatan adat dan ekologis masyarakat adat.
Arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi Papua harus berpijak pada pengakuan atas wilayah adat, sistem pengetahuan lokal, serta tata kelola ekologis yang telah diwariskan dan dijaga oleh leluhur.
Baca Juga:
Raker Adat Dewan Adat Sub Suku USBA Tegaskan Regenerasi Kepemimpinan, Penguatan Budaya, dan Pembentukan Lumbung Pengetahuan Adat
Ditegaskan Charles Imbir, Direktur Institut USBA “Selama negara memandang Papua hanya sebagai objek pembangunan, bukan sebagai pemilik kedaulatan adat dan ekologi, maka setiap program akan berakhir pada pengulangan krisis yang sama, kemiskinan, ketimpangan, dan kehancuran alam.”
Menuju Agenda Baru:
Keadilan Ekologis dan Kedaulatan Adat, Institut USBA menyerukan agar pemerintah pusat meninjau kembali arah pembangunan Papua dengan pendekatan berbasis wilayah adat.