PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Sorong - Papua dalam bayang sentralisasi pembangunan satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menandai babak baru dalam arah pembangunan nasional yang semakin berpusat di tangan pusat kekuasaan.
Bagi Papua, tahun pertama pemerintahan ini tidak menunjukkan perubahan berarti dalam hal pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat dan keadilan ekologis.
Baca Juga:
Raker Adat Dewan Adat Sub Suku USBA Tegaskan Regenerasi Kepemimpinan, Penguatan Budaya, dan Pembentukan Lumbung Pengetahuan Adat
Hal ini disampaikan Charles Imbir selaku Direktur Institut USBA dalam keterangan tertulis kepada media ini, dikutip Selasa (21/10/2025).
Kata Charles, melalui pembentukan Komite Pembangunan Papua dan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus (BP3OKP), negara tampak memperkuat kendali politik dan birokrasi dari Jakarta, bukan memperluas ruang partisipasi dan kemandirian lokal.
Sambungnya, alih-alih memperkuat tata kelola berbasis wilayah adat, kebijakan ini justru menegaskan pola sentralisasi baru dalam tubuh otonomi khusus.
Baca Juga:
Institut Usba Desak Pemerintah dan Pihak Adat untuk Jaga Persatuan dan Keutuhan Adat di Tengah Sengketa Tiga Pulau
Lanjutnya, kegagalan Otsus dan Krisis Ekologis yang memburuk dua dekade Otonomi Khusus tidak berhasil mewujudkan cita-cita keadilan bagi orang asli Papua.
Kewenangan daerah tetap terbatas, sementara ruang hidup masyarakat adat terus tergerus oleh ekspansi perkebunan, tambang, dan proyek infrastruktur berskala besar.
"Laju deforestasi di Tanah Papua kini termasuk yang tertinggi di Indonesia Timur terutama di wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin investasi," jelas Charles.
Namun, posisi masyarakat adat dalam tata kelola hutan dan sumber daya alam tetap lemah dan tidak dilindungi secara efektif.
Ia bilang mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) masih diabaikan, dan kelembagaan adat sering disubordinasikan oleh kebijakan sektoral negara.
Dalam konteks inilah, pembangunan yang mengatasnamakan “percepatan dan pemerataan” justru menjadi instrumen baru dari perampasan ruang hidup dan pelemahan kedaulatan adat.
Papua Butuh Pengakuan atas Kedaulatan Adat dan Ekologinya bagi Papua, tantangan utama bukanlah kekurangan lembaga, melainkan absennya pengakuan terhadap kedaulatan adat dan ekologis masyarakat adat.
Arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi Papua harus berpijak pada pengakuan atas wilayah adat, sistem pengetahuan lokal, serta tata kelola ekologis yang telah diwariskan dan dijaga oleh leluhur.
Ditegaskan Charles Imbir, Direktur Institut USBA “Selama negara memandang Papua hanya sebagai objek pembangunan, bukan sebagai pemilik kedaulatan adat dan ekologi, maka setiap program akan berakhir pada pengulangan krisis yang sama, kemiskinan, ketimpangan, dan kehancuran alam.”
Menuju Agenda Baru:
Keadilan Ekologis dan Kedaulatan Adat, Institut USBA menyerukan agar pemerintah pusat meninjau kembali arah pembangunan Papua dengan pendekatan berbasis wilayah adat.
Kebijakan nasional harus membuka ruang bagi:
1. Restorasi ekosistem dan perlindungan wilayah adat sebagai fondasi pembangunan hijau di Tanah Papua.
2. Desentralisasi kewenangan ekologis yang memberi peran nyata bagi lembaga adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
3. Transparansi dan partisipasi publik dalam perumusan kebijakan pembangunan, agar tidak ada lagi keputusan sepihak atas nama “percepatan”.
4. Revisi UU Otonomi Khusus Papua, dengan menempatkan BP3OKP langsung di bawah Presiden, bukan di bawah Wakil Presiden, agar memiliki otoritas kuat dan akuntabilitas publik yang lebih transparan
5. Pembentukan Dewan Rakyat Papua Independen, yang beranggotakan tokoh adat, perempuan, pemuda, agamawan, dan akademisi untuk mengawal pelaksanaan Otsus serta memastikan pembangunan berpihak pada masyarakat adat dan kelestarian ekologi, yang
beranggotakan tokoh adat, perempuan, pemuda, agamawan, dan akademisi untuk mengawal pelaksanaan Otsus serta memastikan pembangunan berpihak pada masyarakat adat dan kelestarian ekologi.
"Dengan langkah-langkah ini, Papua tidak lagi menjadi ruang eksperimen pembangunan, tetapi subjek utama dalam merumuskan masa depan ekologis dan adatnya sendiri," demikian Charles Imbir, selaku Direktur Institut USBA.
[Redaktur: Hotbert Purba]