Apalagi ketika mereka tahu bahwa proyek itu meraup untung besar. Jadi, pemalangan bisa dipandang sebagai bentuk komunikasi non-verbal agar keprihatinan mereka diperhatikan oleh pemerintah/pemerintah daerah dan investor.
Kedua, dan ini yang lebih penting, di dalam budaya Melanesia sesungguhnya tidak dikenal pengalihan/transfer hak atas tanah/lahan – termasuk sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Baca Juga:
Apel ASN Pemkab Fakfak, Untung Tamsil: Tetap Semangat untuk Membangun Kabupaten Fakfak
Ada artikel bagus yang dipublikasi pada tahun 1984. Tulisan berjudul “Social and Cultural Aspects of Land Tenure” itu ditulis oleh Joel Bonnemaison (horizon.documentation.ird.fr/exl-doc/pleins_textes/pleins_textes_5/b_fdi_12-13/15777.pdf).
Perhatikan kata-kata Bonnemaison, “… Dalam adat Melanesia, setiap orang termasuk dalam satu klan dan setiap klan memiliki area tanah yang tetap, … Tanah klan, [yang turun temurun dari] nenek moyang adalah realitas tunggal [yang tidak bisa berubah]. …Harus selalu diingat, bahwa … tanah Melanesia tidak dapat dipindahtangankan.”
Inilah salah satu topik yang dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021.
Baca Juga:
KPU Fakfak Terima Syarat Dukungan Bapaslon Perseorangan "MARI" Diakhir Tahapan
PP 106/2021 ini adalah turunan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Otsus Papua.
Pada bagian Lampiran PP 106/2021, Urusan Pertanahan, Sub-Urusan 5, yaitu Tanah Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat, huruf e, dinyatakan, bahwa kewenangan Pemprov maupun Pemkab/Pemkot adalah "... Mengatur kerjasama pemanfaatan tanah Masyarakat Hukum Adat dengan pihak lain dalam bentuk perjanjian, sewa dan/atau kontrak penggunaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga Masyarakat Hukum Adat."
Masuknya klausul perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah di Tanah Papua, sebagaimana tercantum dalam Lampiran PP 106/2021 seperti dikemukakan di atas, adalah karena perjuangan sejumlah pihak.