Apalagi ketika mereka tahu bahwa proyek itu meraup untung besar. Jadi, pemalangan bisa dipandang sebagai bentuk komunikasi non-verbal agar keprihatinan mereka diperhatikan oleh pemerintah/pemerintah daerah dan investor.
Kedua, dan ini yang lebih penting, di dalam budaya Melanesia sesungguhnya tidak dikenal pengalihan/transfer hak atas tanah/lahan – termasuk sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Baca Juga:
Ketua Kerukunan Lembata Kabupaten Fakfak: Gunakan Hak Pilih Saudara, Jangan Golput di Pilkada 2024
Ada artikel bagus yang dipublikasi pada tahun 1984. Tulisan berjudul “Social and Cultural Aspects of Land Tenure” itu ditulis oleh Joel Bonnemaison (horizon.documentation.ird.fr/exl-doc/pleins_textes/pleins_textes_5/b_fdi_12-13/15777.pdf).
Perhatikan kata-kata Bonnemaison, “… Dalam adat Melanesia, setiap orang termasuk dalam satu klan dan setiap klan memiliki area tanah yang tetap, … Tanah klan, [yang turun temurun dari] nenek moyang adalah realitas tunggal [yang tidak bisa berubah]. …Harus selalu diingat, bahwa … tanah Melanesia tidak dapat dipindahtangankan.”
Inilah salah satu topik yang dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021.
Baca Juga:
Sembilan Hari Jelang Pilkada, PPD Fakfak Gelar Bimtek Tungsura dan Penggunaan SIREKAP
PP 106/2021 ini adalah turunan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Otsus Papua.
Pada bagian Lampiran PP 106/2021, Urusan Pertanahan, Sub-Urusan 5, yaitu Tanah Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat, huruf e, dinyatakan, bahwa kewenangan Pemprov maupun Pemkab/Pemkot adalah "... Mengatur kerjasama pemanfaatan tanah Masyarakat Hukum Adat dengan pihak lain dalam bentuk perjanjian, sewa dan/atau kontrak penggunaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga Masyarakat Hukum Adat."
Masuknya klausul perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah di Tanah Papua, sebagaimana tercantum dalam Lampiran PP 106/2021 seperti dikemukakan di atas, adalah karena perjuangan sejumlah pihak.