WahanaNews-Papua Barat | Tahun 2022 ditutup dengan perkembangan yang kurang menggembirakan bagi komunitas pers dan masyarakat sipil di Indonesia.
DPR akhirnya mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Upaya dekolonisasi pun melahirkan fakta rekolonisasi.
Baca Juga:
PWI Papua Barat Daya Minta Ketua FJPI PBD Ralat Kalimat "Wartawan Hadiri Undangan Lantamal XIV Tidak Tau Persoalan dan Tidak Bikin Berita Awal"
Upaya DPR memperbarui KUHP lama awalnya disambut hangat berbagai kalangan. KUHP warisan Belanda yang otoriter dan tidak demokratis memang perlu dirombak.
Perombakan itu, katakanlah, merupakan upaya bersama untuk melakukan dekolonialisasi atas hukum pidana di Indonesia.
KUHP yang baru disahkan DPR itu ternyata, justru memperkuat kembali pasal-pasal otoriter dan anti demokrasi dalam KUHP lama. Padahal sebagian dari pasal-pasal otoriter dan anti demokrasi itu sesungguhnya sudah berhasil dijinakkan melalui serangkaian proses amandemen yang didorong kelompok demokrasi selama era reformasi pasca-1998.
Baca Juga:
PWI Papua Barat Daya Kecam Intimidasi Oknum TNI AL Terhadap Wartawan di Kota Sorong
Pasal-pasal otoriter dan anti demokrasi itu ibarat tumor jinak yang kembali ganas mengancam kesehatan demokrasi dan keselamatan kita semua.
Tengah ditunggu apakah Presiden kelak akan menandatangani KUHP baru tersebut atau tidak. Namun, tanpa tanda tangan Presiden pun, KUHP baru itu akan tetap berlaku.
Dan, PWI Pusat menyayangkan KUHP baru itu disahkan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat sipil dan pers.