Wahananews-Papua Barat | Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH mengingatkan negara bahwa persoalan mendasar yang menjadi akar masalah di Tanah Papua adalah soal perbedaan pemahaman mengenai sejarah integrasi ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal itu secara tegas diakui oleh negara sebagaimana termaktub dalam konsideran menimbang huruf e dari UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Baca Juga:
Berkursi Roda di RSPAD, Lukas Enembe Dipamerkan KPK Pakai Rompi Oranye
Menurutnya, di dalam bagian tersebut tersirat makna jika negara menyadari status orang Papua dan tanah airnya yang memiliki sejarah sendiri, kata warinussy, Rabu (6/4).
Hal itu kemudian diupayakan cara untuk memenuhinya melalui ketersediaan ruang di dalam amanat pasal 45 dan 46 UU No.21 Tahun 2001 yang mengamanatkan perlunya dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang tugasnya adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua demi mempertahankan integritas NKRI, ujarnya.
“Pandangan saya, negara Indonesia, termasuk Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe maupun Gubernur Provinsi Papua Barat Drs.Dominggus Mandacan, M.Si untuk segera melakukan desakan kuat kepada Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo untuk membentuk KKR di Tanah Papua”, imbau Warinussy.
Baca Juga:
Polda Papua Amankan Simpatisan Enembe, Satu Orang Tewas
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dapat menjadi media resmi negara dalam memulai upaya mengurai berbagai masalah sejarah Papua dan kejahatan dalam proses integrasi tahun 1961-1969.
Kasus-kasus kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu seperti kasus dugaan penghilangan paksa dan eksekusi kilat di luar proses hukum terhadap kurang lebih 53 orang warga sipil orang asli Papua pada tanggal 28 Juni 1969 di Arfay, Manokwari.
Termasuk juga, kematian misterius dan atau penghilangan paksa terhadap Permenas "Ferry" Awom tahun 1968/1969, terangnya.