Wahananews-Papua Barat | Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH menyoroti alasan para mahasiswa pendemo pada Selasa (8/3 ) di Jayapura dan Manokwari.
Didalam demonstrasi tersebut isu utama yang diangkat dan diorasikan adalah soal penolakan terhadap rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat.
Baca Juga:
Ketua MRP Provinsi PBD: MRP Punya Ketentuan Khusus dari UU Otsus, Calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus OAP
Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, Yan Christian Warinussy melihat bahwa sesungguhnya aksi para mahasiswa ini sangat wajar dan berdasar hukum, karena didalam amanat pasal 76 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Di dalam pasal 76 tersebut disebutkan bahwa pemekaran provinsi Papua atas persetujuan MRPB dan DPRP dengan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Demikian keterangan tertulis Yan Christian Warinussy selaku Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari kepada WahanaNews, Rabu (9/3).
Baca Juga:
Serap Aspirasi MRP Papua Barat Daya, Wamendagri: Spirit dan Koreksi yang Membangun
Ia menambahkan kendatipun pasal tersebut mengalami perubahan berdasarkan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Menurutnya sebagai advokat, Ia melihat bahwa perubahan yang terjadi memberi ruang bagi adanya "intervensi" pemerintah pusat dan parlemen negara (DPR) untuk memekarkan wilayah di Tanah Papua.
Inilah faktor yang menjadi sebab kini beberapa bakal daerah otonomi baru (DOB) akan hadir di Tanah Papua, utamanya di Provinsi Papua.
Bahkan inilah yang sesungguhnya masih menimbulkan perdebatan panjang, apakah pemekaran wilayah di Tanah Papua merupakan aspirasi masyarakat ataukah tidak?, kata Warinussy.
Aksi pada selasa 8 Maret 2022 kemarin yang dimotori para mahasiswa Papua di Jayapura dan Manokwari sesungguhnya hendak memberikan informasi bahwa pemekaran wilayah otonomi baru di Tanah Papua berbentuk provinsi belum dirasakan oleh rakyat sebagai aspirasi luhurnya.
Pemekaran memiliki prosedur dan mekanisme sebagaimana diatur dalam pasal 76 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001, yang sesungguhnya berawal dari keinginan (aspirasi) rakyat Papua.
Lanjut Warinussy, bagaimanapun pemekaran seyogyanya ditujukan untuk memberi kesejahteraan bagi rakyat Papua. Pertanyaannya, bagaimana pemekaran Provinsi bisa menjawab kesejahteraan rakyat Papua, kalau masih ada mama-mama Papua yang menggelar jualannya di emperan toko-toko atau di pinggiran jalan raya, imbuhnya.
Bahkan tidak tersedia pasar bagi mereka mama-mama Papua?. Bagaimana pemekaran bisa menjawab kesejahteraan rakyat Papua, kalau ada ibu hamil mau melahirkan harus dibawa melewati berkilo-kilo meter untuk bersalin?. Bahkan dibawa melewati laut dengan perahu bermotor atau melewati gunung-gunung dengan pesawat terbang?, juga terkadang meninggal dunia di perjalanan sebelum melahirkan.
Ini semua menjadi hal yang terkadang kurang mendapat perhatian dalam rencana pemekaran wilayah di Tanah Papua yang dirancang dari pemerintah pusat, ujarnya.
Langkah yang ditempuh para mahasiswa dalam aksinya di Jayapura dan Manokwari perlu menjadi titik perhatian semua pihak dalam meneruskan ide pemekaran wilayah di Tanah Papua ke depan, baik di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Mendengar suara dan keinginan luhur rakyat Papua penting dijadikan faktor utama dalam konteks kebijakan pemekaran wilayah di Tanah Papua yang dari sisi jumlah penduduk saja sebenarnya belum layak dimekarkan, terang Warinussy.
Sementara provinsi besar seperti Sumatera Utara yang sudah lengkap dari berbagai sisi saja hingga kini masih tetap 1 (satu) provinsi saja, tutupnya. [hot]