Pada sidang sebelumnya (Selasa, 09/11/2021) di PTUN Jayapura, Kuasa Hukum Bupati Sorong menghadirkan masyarakat adat pemilik ulayat tempat ijin lokasi kedua perusahan itu. Saksi Sem Klafiu, Gideon Kilme, Calvin Sede, dan Seljun Kayaru untuk perkara gugatan PT. SAS dan saksi Hendrik Malalu untuk perkara gugatan PT. PLA.
Sem Klafiu salah satu saksi dari Kampung Gisim Distrik Segun menyatakan sejak awal tahun 2000-an perusahaan datang ke kampung meminta hak ulayat, marga Klafiu menolak memberikan tanah.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
“Kalau untuk kami marga Klafiu sepakat kami tolak. Kami sudah sumpah adat kami tolak. Kami tidak terima kelapa sawit dari tahun 2000 sampai sekarang. Kami tidak pernah terima, sedikit pun kami tidak pernah terima uang dari perusahaan,” tegas Sem Klafiu.
Sementara itu Hendrik Malalu, perwakilan marga Malalu dari Kampug Waimon Distrik Segun mengatakan perwakilan PT. PLA baru datang mengadakan kerjasama pada Juni 2021 setelah Bupati mencabut ijin perusahaan itu. “Setelah kami dan perusahaan bekerjasama, setelah itu baru kami tahu bahwa ijinnya sudah dicabut. Bagi kami masyarakat ini adalah tipuan. Ijinnya sudah dicabut, mengapa dia masih mau masuk.” Ucap Hendrik Malalu.
Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat keterangan para saksi yang dihadirkan kuasa hukum bupati memperlihatkan PT SAS dan PT PLA tidak memiliki itikad baik melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
“Kedua perusahaan juga tidak menghormati hak-hak masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan adat untuk bermusyawarah dan memberikan keputusan, sebagaimana Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua”, jelas Harun Rumbrarar, dari Koalisi Masyarakat Sipil dan aktifis JERAT Papua.
Penerbitan izin-izin PT SAS dan PT PLA tidak melalui proses yang diatur oleh pasal 43 ayat (4) UU Otsus, perusahaan juga mengabaikan prinsip FPIC (“Free, Prior and Informed Consent) atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat adat.
Dalam siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan pengabaian atas aturan dan prinsip ini merupakan pelanggaran hak masyarakat adat.