Wahananews-Papua Barat | Sidang lanjutan gugatan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Inti Kebun Lestari pada perkara Nomor 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, PT Sorong Agro Sawitindo pada perkara 31/G/2021/PTUN.JPR, PT Papua Lestari Abadi pada perkara 32/G/2021/PTUN.JPR di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada tanggal 9 dan 11 November 2021 yang lalu telah memasuki agenda pembuktian.
Koalisi Masyarakat Sipil yang melakukan pemantauan persidangan di PTUN Jayapura
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
Dalam siaran pers (15/11/2021) mengungkapkan dalam perkara PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) dan PT Papua Lestari Abadi (PT. PLA) pihak kuasa hukum Bupati Sorong menghadirkan 7 orang saksi untuk didengar keterangannya.
Sementara pihak PT SAS dan PT PLA belum mampu menghadirkan saksi setelah diberi kesempatan oleh majelis hakim, namun majelis memberikan kesempatan terakhir kepada PT SAS dan PT PLA dipersidangan berikutnya untuk menghadirkan saksi.
Benediktus Heri Wijayanto, Kabid Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat dan Ketua Tim Evaluasi Perijinan Sawit di Provinsi Papua Barat sebagai saksi, memberikan keterangan “Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang kami evaluasi, ada 9 kewajiban yang harusnya dipenuhi perusahaan.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
Sembilan kewajiban itu ada dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Keputusan Bupati tentang Ijin Usaha Perkebunan. Sembilan kewajiban ini tidak dipenuhi semuanya oleh PT. Sorong Agro Sawitindo dan PT. Papua Lestari Abadi,” jelas Benediktus Heri Wijayanto.
Kuasa Hukum Bupati Sorong juga menghadirkan Subur, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong dan Anggota Tim Evaluasi Ijin Sawit di Kabupaten Sorong sebagai saksi, kesaksian Subur menerangkan bahwa setelah mendapat ijin lokasi, pemegang ijin lokasi harus membuat laporan pertiga bulan terkait perkembangan perolehan hak tanah.
PT. Sorong Agro Sawitindo dan PT. Papua Lestari Abadi tidak pernah melaporkan perkembangan perolehan tanah di lokasi ijin.
Pada sidang sebelumnya (Selasa, 09/11/2021) di PTUN Jayapura, Kuasa Hukum Bupati Sorong menghadirkan masyarakat adat pemilik ulayat tempat ijin lokasi kedua perusahan itu. Saksi Sem Klafiu, Gideon Kilme, Calvin Sede, dan Seljun Kayaru untuk perkara gugatan PT. SAS dan saksi Hendrik Malalu untuk perkara gugatan PT. PLA.
Sem Klafiu salah satu saksi dari Kampung Gisim Distrik Segun menyatakan sejak awal tahun 2000-an perusahaan datang ke kampung meminta hak ulayat, marga Klafiu menolak memberikan tanah.
“Kalau untuk kami marga Klafiu sepakat kami tolak. Kami sudah sumpah adat kami tolak. Kami tidak terima kelapa sawit dari tahun 2000 sampai sekarang. Kami tidak pernah terima, sedikit pun kami tidak pernah terima uang dari perusahaan,” tegas Sem Klafiu.
Sementara itu Hendrik Malalu, perwakilan marga Malalu dari Kampug Waimon Distrik Segun mengatakan perwakilan PT. PLA baru datang mengadakan kerjasama pada Juni 2021 setelah Bupati mencabut ijin perusahaan itu. “Setelah kami dan perusahaan bekerjasama, setelah itu baru kami tahu bahwa ijinnya sudah dicabut. Bagi kami masyarakat ini adalah tipuan. Ijinnya sudah dicabut, mengapa dia masih mau masuk.” Ucap Hendrik Malalu.
Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat keterangan para saksi yang dihadirkan kuasa hukum bupati memperlihatkan PT SAS dan PT PLA tidak memiliki itikad baik melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
“Kedua perusahaan juga tidak menghormati hak-hak masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan adat untuk bermusyawarah dan memberikan keputusan, sebagaimana Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua”, jelas Harun Rumbrarar, dari Koalisi Masyarakat Sipil dan aktifis JERAT Papua.
Penerbitan izin-izin PT SAS dan PT PLA tidak melalui proses yang diatur oleh pasal 43 ayat (4) UU Otsus, perusahaan juga mengabaikan prinsip FPIC (“Free, Prior and Informed Consent) atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat adat.
Dalam siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan pengabaian atas aturan dan prinsip ini merupakan pelanggaran hak masyarakat adat.
Tindakan Bupati Sorong melakukan pencabutan izin-izin perusahaan telah tepat untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat dan penyelematan lingkungan hidup.
Sidang berikutnya akan dilakukan tanggal 16 dan 18 November 2021 dengan agenda pemeriksaan saksi atau ahli untuk empat perkara. [hot]