WahanaNews-Papua Barat | Pasca Amandemen IV UUD 1945, pasal 18 secara tegas memaknai bahwa NKRI dibagi atas Provinsi dan Provinsi dibagi atas Kabupaten/Kota.
Adapun makna sisi politik pemerintahan dalam konsepsi Otonomi daerah bahwa Provinsi adalah wakil Pemerintah Pusat.
Baca Juga:
KPK Endus Data Janggal 14 Ribu Penerima Bansos Modus Pencucian Uang
Kemudian Provinsi menjadi pembina kab/kota, yang dalam tata kelolanya, kabupaten/kota tetap dalam ruang otonomi daerah dalam konsepsi NKRI yang dibina oleh pemerintah provinsi masing-masing daerah.
Inilah dasarnya mengapa dalam pelantikan para kepala daerah di kabupaten/kota normatifnya dilantik oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan Menteri Dalam Negeri selaku pembantu tugas-tugas Presiden sebagai kepala pemerintahan didelegasikan untuk melantik para Gubernur.
Semua hal di atas menggambarkan tugas dan wewenang Menteri yang mengurus tata kelola pemerintahan dalam negeri.
Baca Juga:
Wapres Beri Penghargaan UHC Award Kepada Pemda Yang Mendukung Program JKN-KIS
Semua yang saya coba uraikan di atas adalah mekanisme pasca para kepala daerah (red: Gubernur, bupati/walikota ) selesai proses politik (pilkada), yang diterima dari KPU sebagai hasil akhir pilkada untuk dibuatkan SK KDH terpilih.
Pertanyaannya, bagaimana jika Kepala Daerah sudah berakhir masa jabatannya (red: sesuai masa bakti yang ditentukan SK pelantikan) ?.
Tentu untuk kelanjutan tata kelola pemerintah daerah, sambil persiapan pilkada (red: serentak), maka pada pilkada 2024 yang akan datang, tentu akan banyak penunjukan oleh Menteri Dalam Negeri terhadap daerah-daerah untuk ditetapkan sebagai Kepala Daerah (red: Penjabat Gubernur dan Penjabat Bupati/Walikota) mengingat 2024 akan dilaksanakan Pilkada Serentak.
Deviasi Penunjukan Penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota
Menjelang pilkada serentak 2024, cenderung inkonsistensi tata kelola pemerintah daerah sebagaimana peran Menteri Dalam Negeri pembina pemerintah daerah, karena makna penunjukan Penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota diduga mengarah "Kepentingan Politik".
Padahal Penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota bukan melalui proses politik melainkan proses administrasi SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
Saya katakan demikian, karena "Posisi Penjabat" bukan proses politik melalui pengusungan partai politik lewat pilkada melainkan karena amanat Administrasi Negara (red: Mendagri sebagai pembina pemda).
Anomali Makna Kepala Daerah (red: khusus Penjabat Gubernur)
Pada awal tulisan ini, kita sepakat bahwa tata kelola pemerintah daerah adalah lingkup tugas Menteri Dalam Negeri (red: termasuk para pejabat setingkat eselon satu ).
Analoginya andai terjadi kekosongan kepala daerah di Provinsi, maka sesuai tugas pokok dan fungsinya dalam profesionalitas akan lebih capabel Penjabat Gubernur (red: provinsi) dipilih dari Pejabat (ASN kemendagri yang sudah sesuai ketentuan regulasinya).
Karena perlu ada tata kelola pemerintah daerah yang sudah tupoksi pejabat atau ASN Kemendagri.
Anomali penunjukan Penjabat Gubernur dalam beberapa bulan terakhir bahkan sampai tahun 2023 akan menjadi isu sentral politik dalam tata kelola pemerintah daerah.
Penunjukan cenderung dimaknai seperti alokasi kursi kekuasaan (red: kepentingan ).
Hal ini sangat bertolak dengan semangat profesionalitas dan kualitas tata kelola pemerintahan yang menjadi cita-cita agenda reformasi.
Mengapa judul tulisan ini menyoroti anomali penunjukan penjabat gubernur, karena sampai saat ini, kemendagri sebagai agenda setting tata kelola pemerintah daerah belum ditempatkan secara proporsional, padahal Kemendagri memiliki kader pemerintahan yang telah tersebar di seluruh daerah.
Sebagai bukti dan data anomali pemerintah daerah yang dijabat oleh pejabat ASN yang berasal dari kemendagri hanya baru 1 daerah yaitu di Sulawesi Barat dari 7 provinsi.
Ketimpangan tersebut dapat kita lihat dari data 7 penjabat gubernur Tahun 2022 :
1. Papua Barat : Paulus Waterpauw (mantan kabaintelkam polri)
2. Babel : Ridwan Jamaluddin (Dirjen Minerba Kementeria ESDM).
3. Gorontalo : Hendra (Staf ahli Kemenpora).
4. Sulbar : Akmal Malik (Dirjen Otda Kemendagri)
5. Banten : Almuktabar (Sekda Banten)
6. Aceh : Ahmad Fauzi (TNI, mantan pangdam aceh}
7. DKI : ??? yang sedang dalam pengusulan terdapat dari unsur Kemendagri.
Pertanyaan sederhana, apakah logis hanya 1 Penjabat Gubernur dari 7 Provinsi, hanya 1 provinsi yang berasal dari kemendagri.
Terlebih lagi bulan oktober ini provinsi DKI akan memiliki Penjabat Gubernur.
Bukankah DKI sampai saat ini adalah miniatur NKRI ? Oleh karenanya sudah selayaknya sesuai amanat konstitusi pasal 18 UUD 1945, maka perlu dipertegas tugas dan wewenang Kemendagri secara objektif memberi kesempatan pengelolaan tata kelola pemerintah di DKI oleh Penjabat ASN yang mumpuni tugas -tugas pemerintahan sehingga jangan lagi try by error.
Juga sekaligus untuk menjaga keseimbangan penunjukan Penjabat Gubernur (2 unsur Penjabat dari Kemendagri dan 7 unsur Kementerian tehnis ).
Hal ini penting agar tidak terjadi miskelola pemerintah daerah dan agar fokus pembangunan pelayanan publik yang berkelanjutan bukan pelayanan kepentingan politik sektarian.
Bukankah semua masalah pemerintahan daerah setiap hari juga yang tangani kemendagri, pun implikasi masalah-masalah politik dalam negeri.
Lucu sekali dari persepektif etika tata kelola pemerintahan, giliran penentuan Pj Gubernur cenderung lebih dipilih Penjabat ASN dari kementerian lain ketimbang kemendagri, ini anomali cuaca buruk dan hanya terjadi dalam kepemimpinan kemendagri saat ini.
Semoga menjadi renungan para peduli pembangunan bangsa.
Penulis : Dr. Bangun Sitohang
Ketua Belajar Menjadi Orang Indonesia ( BeMOI ).