Paslon nomor 5 membawa kita pada retorika yang lebih normatif, tampil gugup, dan sama sekali tidak mendalami tema. Misalnya, saat ditanya tentang konservasi kelautan biru, jawabannya malah beralih ke konsep ekonomi biru, dua konsep yang berbeda. Sebuah perdebatan yang seharusnya menggali strategi konkret justru menjadi semacam “kebingungan akademik” yang membuat publik mengernyitkan dahi.
Paslon nomor 6, dengan kepercayaan diri yang lebih tinggi, juga ternyata jauh dari substansi. Mereka berbicara tentang SDGs (Sustainable Development Goals), yang memang relevan tetapi kurang tepat dalam konteks pengembangan wisata berkelanjutan. Alih-alih mengaitkan dengan standar Global Sustainable Tourism Council (GSTC) yang lebih relevan, mereka terjebak dalam konsep-konsep besar yang, meskipun mulia, kurang mampu menyentuh kebutuhan khusus Raja Ampat.
Baca Juga:
Paslon CERIA Paparkan Strategi Hubungan Internasional untuk Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Raja Ampat
Debat kedua ini akhirnya justru menjadi panggung untuk “calon pemimpin yang demikianlah,” di mana masyarakat Raja Ampat bisa menilai mana yang benar-benar punya visi konkret dan mana yang sekadar beretorika. Jika debat ini benar-benar mencerminkan arah kepemimpinan masa depan, maka sesungguhnya tinggal menunggu waktu sebelum publik bisa memilah mana yang pantas menyandang gelar pemimpin, dan mana yang sebaiknya lebih cocok disebut pemimpi.
[Redaktur: Hobert Purba]