Papua-Barat.WahanaNews.co, Raja Ampat - Debat kandidat kedua di Aimas Convention Center pada tanggal 6 November kemarin, dengan tema ambisius “Pembangunan Wisata Berkelanjutan di Raja Ampat dalam Hubungan Internasional Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Lokal,” seharusnya menjadi ajang untuk menggali konsep, gagasan, dan pemahaman yang mendalam dari masing-masing pasangan calon (paslon).
Ironisnya, yang tersaji justru seperti parade slogan-slogan kosong dan penjelasan yang cenderung textbook dan normatif. Meskipun tema debat ini menuntut solusi visioner dan konkret bagi masyarakat Raja Ampat, mayoritas paslon justru lebih banyak berputar di area yang serba abstrak dan tanpa substansi.
Baca Juga:
Pasangan Calon Charles Imbir dan Reynold Bula Gaungkan Semangat Sumpah Pemuda untuk Persatuan dan Kebhinekaan di Raja Ampat
Ambil saja pasangan nomor 1, yang kita sebut “pasangan ormas.” Mengusung ide “peningkatan SDM dan promosi,” konsep mereka ternyata lebih mirip seperti menyegarkan kembali jargon lama yang sudah sering mereka ucapkan saat menjabat sebagai wakil bupati.
Dengan nada yang sudah akrab di telinga, pasangan ini lebih terdengar seperti repetisi slogan klasik ketimbang calon pemimpin dengan rencana matang. Rasanya, masyarakat Raja Ampat sudah sangat akrab dengan slogan-slogan ini, tetapi menanti kapan janji-janji itu benar-benar membumi.
Paslon nomor 2, pasangan “Hati,” tampil sedikit lebih percaya diri namun masih belum menembus substansi. Meskipun terlihat lebih meyakinkan, narasi mereka masih berputar pada generalisasi tanpa gagasan baru yang relevan untuk mengatasi tantangan aktual. Ada semacam keengganan untuk menyentuh konsep atau visi yang benar-benar segar, sehingga yang tersisa hanyalah optimisme yang kurang terarah.
Baca Juga:
Munculnya Paslon Ceria Bukanlah Penolakan Terhadap Plularisme, Melainkan Penegasan Kepemimpinan Itu Tentang Pengabdian untuk Rakyat
Pasangan nomor 3, pasangan “Ceria,” tampil cukup berbeda. Mereka menunjukkan pemahaman yang lebih dalam dan menawarkan konsep yang visioner, dengan gagasan matang tentang pengembangan wisata berkelanjutan.
Mereka membahas “kota kembar,” kolaborasi strategis dengan NGO internasional, dan kemitraan dengan negara-negara yang memiliki standar tinggi dalam konservasi. Setidaknya, Ceria memberikan wacana yang lebih relevan dan tampak memahami betul kompleksitas tema debat. Jika boleh dibilang, inilah pasangan yang mengerti peta permasalahan dan memiliki kompas yang jelas untuk membawa Raja Ampat ke arah yang lebih baik.
Paslon nomor 4, pasangan “Selaras,” justru terlihat sebagai juru bicara BUMD, berfokus pada potensi keuntungan BUMD bagi masyarakat. Janji-janji BUMD ini tampaknya lebih mendominasi retorika mereka daripada konsep pembangunan Raja Ampat yang lebih luas. Retorika yang dilontarkan terdengar lebih seperti mimpi-mimpi tentang BUMD yang kerap diucapkan tanpa sentuhan kenyataan.
Paslon nomor 5 membawa kita pada retorika yang lebih normatif, tampil gugup, dan sama sekali tidak mendalami tema. Misalnya, saat ditanya tentang konservasi kelautan biru, jawabannya malah beralih ke konsep ekonomi biru, dua konsep yang berbeda. Sebuah perdebatan yang seharusnya menggali strategi konkret justru menjadi semacam “kebingungan akademik” yang membuat publik mengernyitkan dahi.
Paslon nomor 6, dengan kepercayaan diri yang lebih tinggi, juga ternyata jauh dari substansi. Mereka berbicara tentang SDGs (Sustainable Development Goals), yang memang relevan tetapi kurang tepat dalam konteks pengembangan wisata berkelanjutan. Alih-alih mengaitkan dengan standar Global Sustainable Tourism Council (GSTC) yang lebih relevan, mereka terjebak dalam konsep-konsep besar yang, meskipun mulia, kurang mampu menyentuh kebutuhan khusus Raja Ampat.
Debat kedua ini akhirnya justru menjadi panggung untuk “calon pemimpin yang demikianlah,” di mana masyarakat Raja Ampat bisa menilai mana yang benar-benar punya visi konkret dan mana yang sekadar beretorika. Jika debat ini benar-benar mencerminkan arah kepemimpinan masa depan, maka sesungguhnya tinggal menunggu waktu sebelum publik bisa memilah mana yang pantas menyandang gelar pemimpin, dan mana yang sebaiknya lebih cocok disebut pemimpi.
[Redaktur: Hobert Purba]