Rekomendasi operasional Institut USBA (spesifik dan dapat segera diimplementasikan)
1. Segera lakukan peta “hotspot” konsesi berisiko tinggi di Papua (gabungan layer: tambang, HTI, HPH, perkebunan, jaringan jalan industri, DAS hulu). Data awal: Peta Hutan (FWI) dan Global Forest Watch dapat dipakai sebagai basis teknis. Peta Hutan Papua
Baca Juga:
ESDM Siapkan Evaluasi Tambang Usai Banjir Sumatera, Bahlil: Siap-siap Semua Diperiksa
2. Perintahkan moratorium lanskap sementara di titik-titik prioritas (mis. hulu DAS prioritas yang tumpang tindih dengan konsesi baru) sampai audit risiko lengkap dilakukan. (Langkah ini mirip rekomendasi bagi Sumatera yang terbukti efektif mencegah eskalasi).
3. Audit ekologi independen dan kewajiban pemulihan: tetapkan audit yang menghitung deforestasi, perubahan hidrologi, dan kontribusi sedimentasi per korporasi; gunakan hasil audit untuk menentukan sanksi, revisi izin, atau kewajiban restorasi.
4. Tingkatkan transparansi izin & pengawasan: portal publik peta izin konsesi, update real-time pelaporan pelanggaran lingkungan, dan keterbukaan data AMDAL/UKL-UPL. (Transparansi mengurangi risiko tumpang tindih izin yang terjadi di Sumatera). Corruption Risk Assesment on License and Monitoring of Mining Industry in Indonesia
Baca Juga:
Curah Hujan “Hitam” dan Siklon Tropis, BMKG Terangkan Awal Bencana Sumatera
5. Program restorasi hulu terfokus: dukung reforestasi berbasis spesies lokal Papua, penutupan jalan logging/tambang tak terpakai, dan teknik ‘natural engineering’ untuk stabilisasi lereng. (Rekomendasi berbasis pengalaman Sumatera).
Direktur Institut USBA, Charles Imbir menyampaikan, "Bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan terjadi karena hujan, tetapi karena tata kelola ruang yang mengabaikan keselamatan ekologis. Papua tidak boleh mengulang kesalahan yang sama. Saat Sumatera berjuang memulihkan hulu DAS yang hancur, Papua masih memiliki kesempatan untuk mencegah krisis ekologis sebelum terlambat.”
Tentang Institut USBA