• Kesamaan teknis/pola: di Sumatera, pembukaan hutan di hulu DAS oleh tambang, HTI, dan perkebunan menyebabkan hilangnya fungsi penyerap air, meningkatnya sedimentasi, dan akhirnya banjir bandang yang menghantam pemukiman hilir. Di Papua terlihat pola konsesi yang mulai menembus area sensitif (konservasi, DAS hulu, wilayah adat dan pulau-pulau karst)-sebuah kombinasi yang bila tidak dikendalikan berpotensi menciptakan “mesin banjir” serupa. (lihat bukti Greenpeace & data GFW/FWI). Greenpeace investigation reveals extent of nickel mining plans in Raja Ampat, Indonesia’s ‘Last Paradise’
• Perbedaan konteks tapi risiko lebih besar: Papua memiliki curah hujan tinggi di banyak wilayah, topografi pegunungan yang curam, dan DAS besar yang bila dirusak dapat memicu longsor dan banjir dengan skala dan dampak sosial-ekonomi yang sangat besar. Dengan kata lain, kesalahan tata kelola yang sama dapat mengakibatkan konsekuensi yang lebih parah di Papua daripada di beberapa wilayah Sumatera. (data GFW & PetaHutan memetakan kerentanan spasial). Area total hutan primer basah di Jayapura berkurang 2.0% Dalam Periode 2002 -2024.
Baca Juga:
ESDM Siapkan Evaluasi Tambang Usai Banjir Sumatera, Bahlil: Siap-siap Semua Diperiksa
Peran Kritis BP3OKP (Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua)
Institut USBA menegaskan bahwa BP3OKP, sebagai lembaga pengampu percepatan dan sinkronisasi pembangunan Otonomi Khusus Papua (diatur melalui Perpres dan struktur Badan Pengarah), memiliki kewenangan strategis untuk memastikan pencegahan terjadinya bencana serupa di Papua. Perpres terkait posisi dan fungsi Badan Pengarah menempatkan BP3OKP pada posisi koordinatif untuk melakukan harmonisasi kebijakan, evaluasi dan sinkronisasi program pembangunan di wilayah Papua. Oleh karena itu BP3OKP wajib:
1. Memimpin moratorium berbasis lanskap di Hulu DAS kritis: menetapkan penghentian sementara izin baru dan aktivitas yang menimbulkan pembuangan sedimen atau pemecahan lereng sampai audit risiko lanskap selesai. (Model moratorium lanskap telah direkomendasikan di Sumatera). Perpres 121/2022: Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.
Baca Juga:
Curah Hujan “Hitam” dan Siklon Tropis, BMKG Terangkan Awal Bencana Sumatera
2. Memerintahkan audit ekologi independen terhadap konsesi aktif (tambang, HTI, HPH, perkebunan, infrastruktur) untuk menghitung “beban banjir” korporasi dan memutus kewajiban pemulihan atau pencabutan izin bila terbukti berisiko tinggi. (praktik serupa dipanggil untuk Sumatera dalam dokumen Anda).
3. Mengintegrasikan peta risiko (GFW, FWI) ke dalam perencanaan Otsus dan penetapan zona perlindungan — memastikan data spasial (tutupan hutan, peta konsesi, indeks ancaman) dipakai sebagai dasar perubahan tata ruang. (Sumber peta: Forest Watch Indonesia, Global Forest Watch). Peta Hutan Papua
4. Melibatkan masyarakat adat sebagai co-manager dan pengawas—mengamankan hak atas tanah adat dan memfasilitasi mekanisme partisipatif - dalam pengambilan keputusan terkait izin dan restorasi hulu sesuai prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC). (praktik pemberdayaan masyarakat dibutuhkan untuk memastikan kepatuhan di lapangan). Major land rights win for Indigenous Peoples over forest area the size of Hong Kong in Southwest Papua.