Papua-Barat.WahanaNews.co, PBD - Ada hal penting yang dimiliki Provinsi se-Tanah Papua, yang apabila dikelola dengan baik, merupakan upaya "membangunkan raksasa Papua yang tidur" dan menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang sebagian besar di antaranya hidup dalam kemelaratan, keterbelakangan, dan kebodohan.
Dimilikinya UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, Papua sesungguhnya memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar karena memiliki statis sebagai provinsi dengan otonomi khusus.
Baca Juga:
Derap Pembangunan 23 Tahun Otsus di Papua, Refleksi dan Capaian di Papua Barat Daya
Kekuasaan dan kewenangan itu hampir mencapai kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh satu negara merdeka.
Artinya, apabila peluang politik ini digunakan dengan tepat, maka UU No 21/2001 sesungguhnya merupakan alat yang ampuh untuk menciptakan kesejahteraan rakyat Papua sesuai dengan inisiatif dan kondisi setempat.
Dikutip dari kajian yang dilakukan oleh Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan Kemitraan Pemerintah Autralia (KOMPAK) sepanjang tahun 2002-2018, jumlah penduduk Papua yang relatif sedikit, yaitu hanya mencapai 4.237.887 jiwa dengan wilayah seluas ± 421.981 km2- atau kurang lebih satu persen
dari total penduduk Indonesia, dengan wilayah lebih dari empat kali luas Pulau Jawa.
Baca Juga:
Tokoh Pemuda Jayapura Himbau Jangan Terprovokasi dengan Ajakan Demo 15 Agustus 2024
Sedikitnya jumlah penduduk Papua ini sesungguhnya adalah kesempatan untuk menciptakan kesejahteraan yang tinggi, bukan hanya untuk sebagian kecil orang saja, tetapi untuk seluruh penduduknya tanpa kecuali.
Ketika di beberapa daerah di Indonesia jumlah penduduk yang banyak menjadi kendala, hal tersebut sama sekali tidak berlaku di Papua.
Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang sedikit itu tidak serta merta menambah kesejahteraan bagi Orang Asli Papua. Terjadi justru sebaliknya, statistik resmi pemerintah menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen rumah tangga di Papua adalah rumah tangga miskin, bahkan tidak sedikit yang
masuk kategori miskin absolut.
Apabila kita memerhatikan keadaan Papua masa kini, maka kita akan sampai pada kesinpulan bahwa ada paradoks yang luar biasa di Papua.
Di satu sisi Papua kaya raya dengan sumber daya alam, namun di sisi lain sekitar 80 persen keluarga yang bermukim di Papua tergolong miskin absolut.
Padahal, Otonomi Khusus pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsi dan OAP untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran Rakayat Papua, sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi OAP melalui para wakil adat, agama,dan kaum perempuan.
Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah, dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri Rakyat Papua serta pengakuan terhadap eksistensi hak Ulayat, Adat, Masyarakat Adat, maupun Hukum Adat.
Undang-Undang Nonor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua diharapkan dapat menyelesaikan banyak masalah di Papua. Semua pihak menaruh harapan besar karena isinya sangat baik yakni konsensus politik yang akan mengakhiri konflik-konflik masa lalu di Papua.
Namun, setelah lebih dari 20 tahun berjalan dengan kucuran anggaran sangat besar, masyarakat Papua tetap miskin, keamanan tidak terjamin, dan ketidakadilan serta pelanggaran hak asasi manusiaterus terjadi.
Undang-undang itu belum mampu membawa dampak yang signifikan jika dilihat dari tingkat kesejahteraan.
Akhir tahun 2019, turbulensi politik Papua sangat mewarnai pelaksanaan pembangunan di Papua termasuk didalamnya pemanfaatan dana Otsus. Salah satu isu penting adalah pemekaran daerah yang akan membutuhkan dana pembangunan sarana dan prasaran pemerintahan serta perekrutan tenaga-tenaga kerja pemerintahan yang baru.
Untuk itu diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Besaran dana yang diusulkan adalah 3 persen dari DAU Nasional untuk keseluruhan provinsi yang ada di Papua.
Selain Dana Tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, Dana Bagi Hasil (DBH) dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang saat ini telah ada, juga diusulkan untuk ditambahkan DBH khusus dari penerimaan PPh Badan sebesar 25 persen.
Pajak Bumi dan Bangunan Obyek P3 (Perkebunan,Perhutanan dan Pertambangan), disarankan menjadi bagian dari Pajak Daerah Kabupaten dan Kota, pengaturan administrasi PBB P3 diatur lebih lanjut dalam Perda Kabupaten/Kota menyesuaikan kemampuan masing-masing daerah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan PBB.
Selain itu belajar dari peningkatan indikator pembangunan dengan kesenjangan yang masih ada, perlu dipikirkan juga masa berlaku dana Otsus yang lebih Panjang agar proses percepatan pembangunan tidak terganggu dengan proses perpanjangan masa berlaku dana Otsus. Potensi untuk pengelolaan Dana Abadi juga dapat diperhitungkan sebagai investasi bagi generasi
berikutnya OAP.
Bunga yang diperoleh dari Dana Abadi dapat dipergunakan untuk pembangunan manusia dan sarana prasaraa pendukungnya. Tentunya pengelolaannya harus dilaksanakan oleh pengelola keuangan yang kredibel.
Fitur Dana Otonomi khusus skema baru tersebut, mempersyaratkan perbaikan tata kelola keuangan, efisiensi penggunaan dan pengalokasian pada tingkat kabupaten/kota dan diperlukan penguatan OPD atau membentuk OPD Khusus yang mengelola Dana Otsus terutama dengan mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas dan keadilan antar daerah Kabupaten/Kota.
Sebagai kesimpulan, rekomendasi Tim KOMPAK berdasarkan data APBN 2020, Total Dana Otonomi Khusus yang diusulkan pada tahun 2022 meliputi: Setara 3% DAU Nasional; DBH Minyak Bumi 70% (yang terdiri dari 54,5% merupakan kekhususan tambahan DBH untuk DBH Minyak Bumi ditambah dengan 15,5% DBH yang berlaku Nasional); DBH Gas Bumi 70% juga (yang terdiri dari 39,5% merupakan tambahan DBH kekhususan DBH Gas Bumi ditambah dengan 30,5% DBH yang berlaku Nasional); dan DBH PPh Badan sebesar 25%, jumlah tersebut sekitar Rp15 Trilyun, atau sebesar 0,61% dari Belanja APBN 2020 sebesar Rp 2.461,1 Trilyun, yang secara relatif tidak signifikan pengaruhnya terhadap total belanja APBN, dilain pihak memberikan manfaat ekonomi, sosial, perbaikan ketimpangan antar daerah serta dampak positif terhadap stabilitas politik.
[editor: Hotbert Purba]