Sejarah Papua yang dimaksud adalah intimidasi dan penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah RI sepanjang proses PEPERA, penelitian yang dilakukan I Ngurah Suryawan menemukan fakta penindasan tersebut.
Sehingga konsekuensi logisnya, Penjelasan Umum UU No. 12/1969 mengenai kesukarelaan OAP untuk bersatu dengan Indonesia merupakan informasi yang dimanipulasi.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Selain menolak pokok permohonan, majelis hakim juga mempertanyakan legal standing para pemohon.
Bagi MK empat belas organisasi dan individu asli Papua tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan.
Alasannya tidak tergambar jelas, pada pokoknya MK menyatakan bahwa pada kasus ini yang memiliki legal standing adalah Gubernur Papua dan anggota DPRD Provinsi Papua.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Para narasumber dan peserta Eksaminasi Publik atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-XVII/2019. (Foto: ist)
Sementara Majelis Eksaminasi, Anggara, mengomentari pertimbangan MK. Baginya “MK tidak berhak membatasi legal standing pemohon perorangan yang mendapatkan kerugian konstitusional.
Hak kolektif OAP tidak dapat dibatasi hanya pada Gubernur atau DPRD Provinsi. Sempitnya kacamata MK dalam melihat persoalan PEPERA dan masyarakat Papua secara umum menurut Dr. Ngurah Suryawan disebabkan kegagalan negara secara umum dalam membaca orientasi masyarakat Papua.