Wahananews-Papua Barat | Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tahun 2004 hingga 2006 mengenai konflik di Tanah Papua.
Kemudian pada tahun 2008 LIPI ditugaskan oleh pemerintah Indonesia membuat Papua Road Map atau Peta Jalan Model Penyelesaian Konflik di Tanah Papua.
Baca Juga:
Ini Pernyataan Sikap Jaringan Damai Papua (JDP) Terkait Penembakan Yan Christian Warinussy di Manokwari
Lalu disimpulkan bahwa ada 4 (empat) akar masalah, yaitu pertama : masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang Asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massa ke Papua sejak tahun 1970.
Sehingga untuk menjawab masalah ini, kebijakan afirmatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.
Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Baca Juga:
Jaringan Damai Papua (JDP) Serukan kepada Semua Pihak yang Berkonflik di Tanah Papua Menempuh Jalan Damai
Untuk itu diperlukan semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung.
Ketiga, kontradiksi sejarah dan kontruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta.
Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh.
Keempat, pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua.
Untuk itu, jalan rekonsiliasi diantara pengadilan hak asasi manusia (HAM) dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan-pilihan untuk penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama Korban, keluarganya dan warga negara Indonesia di Papua secara umum.
Ada catatan bahwa keempat isu dan agenda tersebut diatas dapat dirancang sebagai strategi kebijakan yang saling terkait untuk penyelesaian konflik Papu secara menyeluruh dalam jangka panjang.
Demikian keterangan tertulis dari Juru bicara Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, SH., Kamis (3/2).
Kini tahun 2022, usia berlakunya UU RI No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua akan memasuki usia ke-21 Tahun.
Juru bicara Jaringan Damai Papua (JDP), Yan Christian Warinussy, SH mengatakan bertolak dari Papua Road Map tersebut berpandangan bahwa hendaknya kebijakan bagi upaya menyelesaikan konflik di Tanah Papua oleh pemerintah Pusat Indonesia tidak boleh dilakukan secara parsial dan hanya berfokus pada pembangunan kesejahteraan semata.
Sebab akar konflik sudah jelas, sehingga tidak bisa melakukan pembangunan kesejahteraan dengan sadar tanpa mau menyentuh penyelesaian konflik bersenjata yang tengah terus berlangsung di wilayah Ilaga, Puncak, Kiwirok, Nduga dan Oksibil serta Kisor-Maybrat.
Christian Warinussy juga menyampaikan bahwa pembangunan kesejahteraan saja tanpa melihat soal dukungan dan bantuan pangan, sandang dan kesehatan bagi para pengungsi mayoritas orang Asli Papua di Nduga, Wamena, Ilaga, Kiwirok dan Maybrat.
Tidak bisa melakukan pembangunan kesejahteraan tanpa pula melihat pertikaian bersenjata yang terus terjadi antara aparat TNI dan Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di wilayah pegunungan tengah Papua hingga Maybrat, Papua Barat, jelas Warinussy.
JDP ingin memberi catatan kepada Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk segera menyadari bahwa persoalan Papua adalah bukan hanya persoalan kesejahteraan semata.
Tapi masalah marginalisasi dan efek diskriminasi terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massal ke Papua sejak tahun 1970.
Banyak potensi tanah, hutan dan sumber daya alam yang awalnya menjadi hak masyarakat adat Papua, tapi kini dikuasai dan dikelola oleh orang non Papua bahkan ada kecenderungan "intervensi" oknum aparat keamanan yang senantiasa mengakibatkan orang asli Papua berada pada posisi termarginalkan secara ekonomi dan politik.
Kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Banyak fakta membuktikan bahwa mama-mama Papua tidak memiliki akses yang penting dalam mekanisme pasar yang ada di wilayah perkotaan Papua.
Mereka hanya bisa berjualan dengan cara menebar barang dagangannya di atas emperen toko atau kios milik warga masyarakat pendatang/non Papua, ungkapnya.
Kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta tidak bisa disangkal sebagai masalah penting pula, karena negara secara sadar "mengakuinya" sebagaimana tertuang dalam konsideran menimbang huruf e dari UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga Indonesia di Tanah Papua menjadi soal urgen dan mendesak yang semestinya dibijaki untuk diselesaikan secara bermartabat.
“Selaku Juru bicara JDP, Saya menyuarakan pandangan kami (JDP) bahwa pendekatan pembangunan kesejahteraan tidak bisa dilihat terpisah dan dilakukan dengan menafikan upaya menyentuh penerapan kebijakan afirmatif rekognisi guna pemberdayaan orang asli Papua”, kata Christian Warinussy.
Artinya jika ada upaya pemberian prioritas bagi orang Asli Papua untuk diterima dalam sejumlah sektor kerja seperti aparat polisi dan jaksa serta hakim maupun pengusaha asli Papua.
Lalu pada saat yang sama juga ada kebijakan untuk kaum non Papua dengan alasan Lahir Besar Papua (Labepa).
Ini tentu akan berimplikasi pada "pengurangan" kuota OAP yang juga bisa berujung pada aksi bakar ban di jalan raya di kota-kota besar di Tanah Papua.
Afirmatif rekognisi justru bertujuan positif untuk memberi kesempatan pertama dan utama bagi OAP untuk mengejar ketertinggalannya dahulu, pungkasnya.
Demikian juga dengan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua menjadi sesuatu yang urgen dan mendesak demi kesejateraan OAP.
Kemudian dialog seperti yang pernah dilakukan di Aceh menjadi lebih sesuatu yang urgen dan mendesak untuk dilaksanakan di Tanah Papua dewasa ini.
“Demi mengakhiri konflik bersenjata yang terus terjadi jadi di wilayah Pegunungan tengah Papua. Demiliterisasi menjadi urgen untuk dilakukan di seluruh Tanah Papua saat ini”, pintannya.
Model pendekatan keamanan yang terus menerus menghadapkan Anasir kekerasan bersenjata dengan rakyat Papua mesti diakhiri sejajar sekarang ini.
Sebaliknya, mengedepankan dialog damai mesti menjadi pilihan guna mendorong penyelesaian atas persoalan kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta.
Pada akhirnya jalan rekonsiliasi antara pengadilan HAM dan pengungkapan kebenaran menjadi pilihan penting dan berdasar hukum yang semestinya ditempuh dalam mendorong pertanggungjawaban negara atas kekerasan yang berimplikasi pelanggaran HAM di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Tanah Papua yang terus menjadi "luka lama" yang sangat mempengaruhi pola hubungan sosial antara negara dengan rakyat di Tanah Papua hingga dewasa ini, juru bicara JDP Christian Warinussy mengakhiri. [hot]