Wahananews-Papua Barat | Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari memberi apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang telah memberikan pernyataan dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2022 di depan MPR RI DPR RI dan DPD RI.
Yaitu bahwa pihaknya saat ini telah mendorong draft Undang Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang kabarnya sedang dibahas di DPR RI. Serta langkah Presiden untuk membentuk Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu melalui jalur Non Yudisial.
Baca Juga:
Komnas HAM Kawal Pelanggaran HAM di Papua, LP3BH Manokwari: Bagaimana Tentang Kasus Dugaan pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena
Demikian disampaikan Direktur eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH kepada Papua-Barat.Wahananews.co, pada Rabu, 17 Agustus 2022.
“Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, saya ingin mengingatkan Presiden Joko Widodo dan parlemen Indonesia (MPR, DPR dan DPD) bahwa untuk konteks Papua menurut Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001, KKR yang dimaksud adalah untuk menyelesaikan dan melakukan klarifikasi terhadap Sejarah Papua, khususnya dalam konteks Integrasi Politik Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, kata Warinussy.
KKR di Tanah Papua mesti didasari pada amanat Pasal 46 UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Baca Juga:
Komisi HAM PBB Singgung Kasus Pembunuhan dan Mutilasi di Papua dalam Sidang di Jenewa Swiss
Negara dan Pemerintah Indonesia serta pemerintah Provinsi Papua dan juga Papua Barat mesti menyimak dengan baik amanat tertuang di dalam konsideran menimbang huruf e UU No. 21 Tahun 2001, ujarnya.
Juga dalam penjelasan I Umum alinea ketiga yang antara lain berbunyi : ,..."pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam NKRI adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.
Menurut Warinussy, upaya -upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan.
Dengan demikian maka sesuai amanat pasal 46 UU Otsus Papua No. 21 Tahun 2001 tugas KKR di tanah Papua adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua yang oleh rakyat Papua disebut sebagai agenda pelurusan sejarah Papua.
KKR di tanah Papua jelas berbeda dengan KKR yang dirancang dalam draft UU KKR yang tengah dibahas saat ini di DPR RI, ujarnya.
Di dalam penjelasan pasal 46 ayat (2) huruf b dijelaskan bahwa langkah-langkah rekonsiliasi mencakup pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Tugas KKR di tanah Papua yang dimaksud dalam kebijakan negara mengenai otonomi daerah, justru dimaksudkan untuk menjalankan agenda klarifikasi atau pelurusan sejarah Papua yang titik utamanya pada soal integrasi politik Papua Tahun 1963, terang Yan Christian Warinussy.
Mengenai KKR yang dimaksudkan dalam RUU KKR yang tengah dibahas di DPR RI adalah pokok fokus lain, yaitu pada soal penyelesaian dugaan pelanggaran HAM masa lalu.
Lanjut dia, kasus-kasus di Tanah Papua seperti dugaan pelanggaran HAM sebelum, pada saat dan sesudah pelaksanaan Act of Free Choice atau Pepera dapat dibawa ke KKR tersebut.
Juga sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM lain di bawah atau sebelum periode tahun 1963, tutupnya. [hot]