Papua-Barat.WahanaNews.co, Sorong - Sebanyak 31 penggagas dan pengelola Sasi di wilayah Bentang Laut Kepala Burung Papua mendapatkan pelatihan yang ditujukan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi perairan.
Peserta yang berasal dari Raja Ampat, Kaimana, Fakfak, Teluk Cenderawasih, Teluk Wondama, dan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Malaumkarta itu dilatih oleh trainer dari Konservasi Indonesia selama tiga hari, sejak Senin - Rabu (6/12/2023) di Sorong, Papua Barat Daya.
Baca Juga:
Program Kolaborasi KASUARI untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Sorong Selatan
Kepala Dinas Pertanian, Pangan, Kelautan dan Perikanan (P2KP) Provinsi Papua Barat Daya, Absalom Salossa mengatakan Sasi sebagai tradisi yang telah ada di Tanah Papua sejak ratusan tahun lalu menjadi kearifan lokal yang mampu menjaga keseimbangan alam.
“Harapan saya supaya Sasi ditingkatkan, ditularkan kepada anak-cucu kita, dan kepada daerah-daerah lain. Tanpa Sasi, satu mata rantai keseimbangan lingkungan akan terputus. Ke depan kami akan mendukung dalam hal penganggaran untuk berkolaborasi, bergandengan tangan dengan komunitas yang ada,” kata Absalom saat pembukaan, pada Senin (4/12/2023).
Lebih lanjut, Absalom menilai, “pada prinsipnya Provinsi Papua Barat Daya mendukung seratus persen inisiatif Sasi dalam kawasan konservasi daerah. Secara tidak langsung masyarakat adat ini juga mendukung pemerintah, dan mendukung target nasional.”
Baca Juga:
Hut TNI Ke-79, Kodim 1802 Bagikan Sembako untuk Masyarakat
Direktur Strategi Konservasi Papua dari Konservasi Indonesia, Meity Mongdong, menyebut bahwa pemahaman atas pengelolaan sumber daya alam harus sejalan dengan penguatan sumber daya manusia yang berbasis kearifan lokal sekaligus berkelanjutan.
Kata dia, pemerintah pun telah membuat berbagai regulasi untuk melestarikan sumber daya laut mulai dari penguatan secara kelembagaan, pengelolaan sumber daya kawasan, serta penguatan sosial ekonomi dan budaya.
“Praktik Sasi ini sudah mulai hilang di sejumlah kelompok masyarakat, sementara kebutuhan ekonomi makin meningkat, sumber daya alam makin berkurang. Konservasi Indonesia mempunyai strategi untuk mendukung kebijakan pembangunan pemerintah yang salah satunya adalah dengan mengelola sumber daya laut dan pesisir secara efektif, serta mendukung hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Mendukung revitalisasi Sasi adalah intervensi yang tepat untuk dilakukan dalam mencapai dua tujuan di atas tadi,” tutur Meity.
Pada kawasan perairan bentang kepala burung Papua tradisi konservasi sumber daya laut berbasis kearifan lokal ini memiliki beberapa sebutan yakni Sasi, Nggama dan Kerakera.
Ketiganya mempunyai kesamaan yakni membatasi pemanfaatan dari sumber daya alam tertentu untuk memberikan kesempatan kepada alam untuk melakukan regenerasi, serta manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat.
Karena itu Konservasi Indonesia, sebut Meity, menginisiasi dibangunnya Jejaring Sasi untuk memperkuat ketahanan masyarakat sekaligus sumber daya alam itu sendiri.
“Ketika masyarakat pesisir bergandengan tangan membuat Sasi, artinya seluruh pesisir saling terhubung dengan peraturan Sasi yang artinya wilayah kelola masyarakat pesisir terlindungi. Ketika ada ancaman terhadap perusakan pesisir, tidak hanya lokasi tersebut yang bersuara, tapi seluruh masyarakat yang terbangun solidaritasnya oleh Sasi ini akan ikut bersuara. Inilah fungsi jejaring Sasi yang sesungguhnya. Tujuan Jejaring Sasi adalah untuk membangun perlindungan dan pengelolaan bersama atas wilayah kelola masyarakat dan memastikan ketahanan masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya terjaga untuk waktu yang panjang,” jelas Meity.
Pada pelatihan ini, imbuh Meity, Konservasi Indonesia memberikan pemaparan yang bertujuan agar masyarakat mempunyai suara kolektif yang kuat atas wilayah kelolanya, dan membekali pengetahuan mengenai pola reproduksi biota yang memiliki nilai ekonomis penting sehingga penerapan Sasi bisa optimal menghasilkan manfaat, sambil secara bersamaan memastikan keberlanjutan sumber daya alamnya.
“Biarpun manusia menambah jumlah alat tangkap, memperbesar, membuat yang lebih canggih, tetap saja ikan dan biota laut makin berkurang. Karena reproduksi ikan dan biota laut jauh lebih lambat perkembangbiakannya dari kecepatan manusia menangkap, jadi menghidupkan Sasi adalah upaya yang sangat arif untuk memastikan sumber perikanan masyarakat pesisir akan tetap ada untuk selamanya. Mari ramai-ramai membuat Sasi di pesisir kampung masing-masing,” tukas Meity.
Salah satu peserta pelatihan asal Kampung Aisandami, Kabupaten Teluk Wondama, Tonce Somisa mengatakan, melalui pelatihan ini besar harapan masyarakat mendapat hasil maksimal pada saat Sasi dijalankan.
“Sasi di kampung kami diberlakukan selama tiga tahun, dan belum dibuka hingga tahun ini. Setelah pelatihan ini, ketika Sasi dibuka kembali, kami akan membuat laporan agar masyarakat bisa mendapatkan hasil yang terbaik,” ujarnya.
Sementara itu, Raja Kumisi, Muhammad Nasir Aituarauw yang hadir sebagai tokoh Sasi dari Kampung Adi Jaya, Kaimana, menyebut masyarakat di kampungnya sadar benar dengan dampak besar dari tradisi berbasis konservasi ini.
“Kita Sasi adalah lola, teripang, dan buah kelapa. Untuk lola dan teripang sudah dilakukan selama 24 tahun. Manfaat dari Sasi Nggama yang sudah dilakukan sejak turun temurun ini sangat luar biasa sekali untuk pendapatan Masyarakat di Kampung Adi Jaya. Ketika Sasi dibuka semua masyarakat diberikan kesempatan untuk menyelam dan mendapat hasil yang cukup banyak untuk dijual,” demikian Muhammad Nasir Aituarauw.
Mengutip berbagai sumber, Sasi adalah bentuk kearifan lokal yang masih terpelihara di Indonesia bagian timur, khususnya di kepulauan Maluku dan tanah Papua. Di beberapa wilayah, istilah sasi dikenal dengan lain seperti yot di Kepulauan Kei Besar, yutut di Kei Kecil, serta nama-nama lokal lainnya.
Seperti di Maluku dan beberapa wilayah Papua, praktik sasi tidak hanya dilakukan di darat, tapi juga digunakan untuk mengelola sumber daya alam yang ada di pesisir dan laut.
Sasi sendiri adalah cara mengatur panen sumber daya tertentu (hayati laut maupun darat) dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Tujuannya agar sumber daya dapat tetap lestari, dan tidak diambil secara berlebihan. Larangan sasi memberi waktu yang cukup, agar sumber hayati yang ada di alam dapat memiliki waktu berkembang biak dan memulihkan populasi.
[Redaktur: Hotbert Purba]