Wahananews-Papua Barat | Jaringan Damai Papua (JDP) memberi masukan dan saran kepada Bupati Teluk Bintuni agar mempertimbangkan cara - cara damai dalam menyelesaikan konflik di wilayah Distrik Moskona Barat secara khusus, dan di wilayah Moskona secara umum.
Hal ini disampaikan JDP berkaitan dengan telah dilahirkannya Keputusan Bupati Teluk Bintuni Nomor : 188. 45/C-69/2022 tentang Pembentukan Panitia Deklarasi Damai Konflik Sosial Wilayah Moskona Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2022, tertanggal 01 Desember 2022.
Baca Juga:
Jaringan Damai Papua (JDP) Memandang Penting Adanya Pendekatan Kemanusiaan di Moskona Barat Kabupaten Bintuni
JDP memandang bahwa konflik sosial yang sedang terjadi di wilayah Moskona lebih banyak disebabkan karena ketersediaan sumber daya alam hutan (kayu) yang melimpah.
Sehingga menjadi sumber terjadinya kegiatan eksploitasi yang selama ini terjadi, juga semenjak hadirnya perusahaan-perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sejak tahun 1980-an hingga kini.
Akibatnya, masyarakat adat di wilayah Moskona telah terbiasa berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
Baca Juga:
JDP Sambut Baik Keinginan Aktivis Resolusi Konflik Internasional asal Negara Finlandia Juha Christensen dalam Penyelesaian Konflik di Papua
Hak Ulayat mereka dikelola dengan sebagian besar berdasarkan perjanjian lisan yang menempatkan posisi masyarakat adat pada posisi yang tidak menguntungkan. Bahkan terkadang mereka bisa menjadi korban.
Demikian disampaikan juru bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy, SH menyikapi persoalan konflik sosial di Distrik Moskona Barat, pada Rabu (14/12) di Manokwari.
Menurut catatan JDP, ada seorang warga sipil bernama Frans Aisnak yang dituduh terlibat pembunuhan terhadap seorang anggota Brimob di wilayah Moskon Selatan.
Padahal awal kasus tersebut, justru Frans Aisnak ini sedang menagih pembayaran hak ulayatnya dari perusahaan HPH yang bekerja di wilayah ulayatnya.
Dia kemudian ditangkap, sempat mengalami penganiayaan dari sejumlah oknum petugas keamanan hingga digelandang ke Polda Papua Barat dan dihadapkan ke Pengadilan Negeri Manokwari dan divonis pidana penjara sebagai pelaku turut serta melakukan pembunuhan terhadap anggota Brimob.
Surat Keputusan Bupati Teluk Bintuni.
Tapi sang pembunuh utama atau intelektual dader (otak pelaku) nya tidak pernah bisa ditangkap oleh polisi untuk mempertanggung-jawwbkan perbuatannya hingga saat ini.
Berkenaan dengan penyelesaian damai terhadap konflik sosial di Moskona sesuai Keputusan Bupati tersebut, JDP justru mendorong agar pentingnya pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni mempertimbangkan untuk mengedepankan terciptanya suasana damai dan ketenangan bathin pada warga masyarakat penduduk asli wilayah Moskona lebih dahulu.
Warga masyarakat Moskona saat ini telah banyak meninggalkan kampungnya di Moskona dan mereka memilih turun dari Moskona dan menempati sejumlah wilayah pemukiman di Bintuni hingga ke Manimeri.
Karena itu prioritas utama semestinya diberikan kepada warga masyarakat Moskona di Bintuni dan sekitarnya.
JDP juga mencatat bahwa dahulunya ketika wilayah Kabupaten Manokwari akan dimekarkan menjadi Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Teluk Bintuni, maka terjadi peristiwa berdarah berdimensi pelanggaran HAM Wasior tahun 2001.
Demikian juga dengan Bintuni yang diduga keras dikembangkan menjadi Kabupaten baru karena tuntutan akses pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperpendek dari Manokwari ke kota Bintuni.
JDP sangat berharap jika pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni dan pihak-pihak lain memiliki kepentingan untuk mengembangkan wilayah Moskona menjadi Kabupaten baru pecahan dari Kabupaten Teluk Bintuni, maka hendaknya hal itu diawali dengan menggunakan penelitian ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.
“Jadi bukan dengan harus mengorbankan warga masyarakat asli Moskona untuk dikriminalisasi lebih dulu sebagai pelaku tindak pidana, misalnya kepemilikan senjata api rakitan, atau penggelapan atau pencurian alat berat atau memberikan sokongan dana kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB)”, ujar Warinussy.
Kesemuanya itu terasa kurang adil, karena apabila wilayah Moskona kelak dapat menjadi cikal bakal Daerah Otonom Baru (DOB), maka bukan saja warga Moskona yang akan langsung menikmatinya, tapi justru lapangan kerja baru akan tersedia pula bagi warga non Moskona dan warga non Papua.
JDP sangat menginginkan kasus Moskona sebaiknya diselesaikan dengan senantiasa menempatkan warga asli Moskona utama, sebagai subjek utama dan diperlakukan secara adil menurut prinsip-prinsip hukum, hak asasi manusia dan demokrasi yang diatur dalam UUD 1945 serta aturan perundangan yang berlaku, demikian Juru Bicara JDP, Yan Christian Warinussy. [hot]