PAPUA-BARAT.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Presiden Indonesia Islamic Business Forum (IIBF) Dr. (HC) H. Heppy Trenggono, M.Kom, mengungkapkan, narasi yang menyudutkan kelapa sawit sebagai perusak lingkungan kembali menguat di ruang publik.
Menurut Heppy, tuduhan ini mengandung unsur kebenaran, namun juga menyederhanakan persoalan secara berbahaya. Jika tidak disikapi dengan jernih, bangsa ini berisiko salah sasaran, bahkan merugikan kepentingan ekonomi dan lingkungan sekaligus.
Baca Juga:
Dorong ISPO Sawit Kawasan Bomberay dan Tomage untuk Keberlanjutan Usaha Perkebunan dan Peningkatan PAD Fakfak
Ia menjelaskan, Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Data menunjukkan, pada 2023 Indonesia memproduksi sekitar 46–48 juta ton crude palm oil (CPO) per tahun. Industri ini menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja, langsung maupun tidak langsung, dan menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 2,6 juta petani sawit rakyat. Kontribusinya terhadap devisa negara secara konsisten berada di kisaran USD 30–35 miliar per tahun.
"Angka-angka ini menjelaskan satu hal: kelapa sawit bukan sektor pinggiran, melainkan salah satu tulang punggung ekonomi nasional," ujar Heppy, Sabtu 20 Desember 2025.
Namun harus diakui, lanjut Heppy, masalah tata kelola memang nyata. Pemerintah mencatat sekitar ±3 juta hektare kebun sawit berada di kawasan hutan, hasil dari pembukaan lahan ilegal dan pelanggaran perizinan. Lahan-lahan ini kini ditertibkan dan diambil alih negara. Ini langkah korektif yang penting.
Baca Juga:
Dinas Perkebunan Kaltim Laksanakan Intensifikasi Tanaman Kelapa Sawit Seluas 1.000 Hektar
Tetapi di sinilah kesalahan berpikir sering terjadi, pelanggaran tata kelola digeneralisasi menjadi kesalahan komoditas. Padahal, yang bermasalah adalah cara, bukan sawitnya.
Secara global, diungkapkan Heppy, kelapa sawit diatur oleh standar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang mencakup perlindungan hutan bernilai konservasi tinggi, hak masyarakat adat, dan praktik agrikultur berkelanjutan. Indonesia juga memiliki ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat wajib bagi pelaku usaha.
Artinya, secara regulasi, pembangunan sawit tidak harus merusak lingkungan. Persoalannya bukan ketiadaan standar, melainkan inkonsistensi penegakan.