Wahananews-Papua Barat | Kasus dugaan tindak pidana pembunuhan disertai Mutilasi yang menimpa 4 (empat) warga sipil atas nama Arnold Lokbere, Rian Nirigi, Elemaniel Nirigi dan Artis Tini di Mimika, Papua (22/8).
“Menurut pandangan saya sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua dapat diselidiki lebih lanjut dari sisi dugaan terjadinya pelanggaran HAM Berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)”, Kata Yan Christian Warinussy, SH selaku Direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari dalam keterangan tertulisnya kepada Papua-Barat.Wahananews.co, pada Rabu (14/9).
Baca Juga:
Komnas HAM Kawal Pelanggaran HAM di Papua, LP3BH Manokwari: Bagaimana Tentang Kasus Dugaan pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena
Ia bilang, karena kejadian ini menyerupai peristiwa-peristiwa dugaan pelanggaran HAM masa lalu yang pernah terjadi di Tanah Papua jelang pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) yang oleh Pemerintah Indonesia disebut dengan nama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.
Berdasarkan hasil investigasi Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari dengan melibatkan beberapa akademisi diperoleh data bahwa pada tanggal 28 Juli 1969 telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity).
Yaitu eksekusi kilat (summary execution) terhadap sekitar 53 warga sipil asli Papua di sekitar Markas Batalyon 753 Arfai, Manokwari.
Baca Juga:
Rakyat Papua Menaruh Harapan kepada Majelis Hakim, Buka Tabir Gelap Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Paniai
Padahal keesokan harinya yaitu tanggal 29 Juli 1969 akan dilaksanakan act of free choice di Gedung Wilhelmina, Manokwari (kini bekas kantor DPR PB yang sudah terbakar akibat peristiwa demonstrasi anti rasis tahun 2019).
Selain itu, diduga ada pula terjadi peristiwa pembunuhan dan eksekusi kilat pula terhadap sejumlah warga sipil dan dimasukkan dalam satu lubang (mirip peristiwa G 30 S PKI) di pinggiran sungai di kampung Masni, Kabupaten Manokwari.
“Kesemua peristiwa tersebut menunjukkan kepada kita dan dunia bahwa upaya intimidasi terhadap orang Papua asli sebenarnya sudah terjadi dan diduga bertujuan menghilangkan etnis Papua”, ungkapnya.
Sehingga dapat diduga sedang terjadi peristiwa genocida di tanah Papua sejak awal integrasi.
Hal ini menjadi masalah yang patut diselesaikan tidak saja dari sisi hukum belaka dengan menjatuhkan vonis berat terhadap para tersangka, pungkasnya.
Tetapi juga penting untuk Komnas HAM terlibat guna mengungkapkan dugaan pelanggaran HAM berat yang cenderung mengakibatkan lahirnya trauma dan membangkitkan ingatan penderitaan (memorial pasionis) rakyat Papua saat ini, tutup Yan Christian Warinussy. [hot]