Tohom memaparkan, rumah yang ditempati keluarga Wanda Hamidah atas nama Hamid Husen tersebut berdiri di atas lahan milik pemerintah, yang SHGB-nya sudah tercatat atas nama Japto Soelistjo Soerjosoemarno sejak tahun 2012 lalu hingga 2032 mendatang.
“Hamid Husen mendalilkan menempati lahan tersebut berdasarkan SIP atau Surat Izin Penghunian atas nama Syech Abubakar, yang dikeluarkan Dinas Perumahan dan masa berlakunya sudah berakhir sejak 3 Februari 2009,” kata Tohom.
Baca Juga:
Soroti Pemegang SIP, Sri Dharen: Aneh Kok Wanda yang Bersuara
Dengan demikian, nama Hamid Husen tidak tercatat memiliki dasar atau riwayat perolehan atas “tindakan penghunian” yang dilakukannya.
Berkaca dari fakta-fakta dokumentatif tersebut, lanjut Tohom, maka penggunaan istilah “sewenang-wenang” pun jadi tidak tepat, karena sebetulnya keluarga Wanda Hamidah atas nama Hamid Husen itu sudah diberi kesempatan untuk menempati lahan tadi tanpa alas hak yang sah selama sekitar 13 tahun (2009-2022).
“Pemkot Jakarta Pusat, Pemprov DKI Jakarta, maupun Bapak Japto Soelistjo Soerjosoemarno sudah memberikan informasi, waktu, dan kesempatan yang cukup kepada Hamid Husen untuk melakukan pengosongan lahan berdasarkan inisiatif dan kesadarannya sendiri,” kata Tohom.
Baca Juga:
Soroti Pemegang SIP, Sri Dharen: Aneh Kok Wanda yang Bersuara
Antara lain sudah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Namun semuanya itu sama sekali tidak diindahkan oleh Hamid Husen.
Pemkot Jakarta Pusat pun, sambung Tohom, sudah melayangkan undangan Rapat Koordinasi sekaligus mediasi antara Hamid Husen dengan Japto Soelistjo Soerjosoemarno. Namun Hamid Husen atau perwakilannya tidak hadir memenuhi undangan tersebut.
“Maka, sebetulnya, seandainya Hamid Husen bisa menunjukkan alas haknya yang sah atas lahan yang dikuasainya tersebut, kami yakin tindakan pengosongan paksa itu pasti tidak akan pernah dilaksanakan,” kata Tohom.