"Penguasaan dan Pengolahan lahan dari 35 sampai 90 tahun sama saja akan mentok di 40 sampai 50 Tahun sebab masyarakat tidak terima dan kami minta dikembalikan ke masyarakat," terangnya.
Sulfianto Alias selaku Aktifis lingkungan dari Perkumpulan Panah Papua menyampaikan bahwa biasanya ada modus yang dilakukan oleh pemegang izin untuk membujuk masyarakat sehingga terjadi pelepasan lahan.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
Khusus investasi perkebunan sawit, modusnya dengan iming-iming memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat.
Setelah pelepasan dari masyarakat adat diberikan kepada pemegang izin, maka perusahaan mengurus HGU miliknya.
Di dalam kebijakan Reforma Agraria yang digagas oleh Pemerintah, memang sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk mengalokasikan tanah sebesar 20 persen dari luas HGU kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam kebijakan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
"Namun saya menilai masih tidak adil bagi masyarakat adat, sebab masyarakat adat hanya memperoleh seperlima bagian dalam HGU, sedangkan pemegang izin memperoleh empat perlimanya, Jadi kalau luas HGU 100 hektar, maka tanah untuk masyarakat hanya 20 hektar sedangkan 80 hektar adalah milik perusahaan. Saya menduga penerbitan SK HGU ini tanpa melalui proses PADIATAPA secara baik dan berpotensi menimbulkan konflik," terang Sulfianto.
Menurut Sulfianto, semestinya pemegang izin dan pemerintah harus membuka secara luas tujuan dan proses perolehan lahan menurut aturan yang berlaku sehingga masyarakat harus benar-benar paham tentang tujuan pengurusan HGU perusahaan, dan perusahaan wajib menyampaikan keuntungan maupun kerugian yang diperoleh ketika SK HGU diterbitkan.
"Kami juga meminta pemerintah daerah Teluk Bintuni untuk melakukan peninjauan kembali terhadap izin perkebunan sawit yang saat ini sedang beroperasi karena menimbulkan banyak masalah," tandasnya. [hot]