Wahananews-Papua Barat | Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menilai dan menyesalkan penjatuhan vonis bebas kepada terdakwa tunggal dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai tahun 2015 atas nama Mayor Purnawirawan Isak Sattu.
Ini adalah bentuk konkrit dari tidak adanya penghargaan Negara bagi nilai dan prinsip hak asasi manusia yang dianut dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Baca Juga:
Situasi HAM di Papua Tahun 2023, Ini Hasil Pengamatan Komnas HAM
Utamanya adalah keinginan memperoleh keadilan dari para korban dan keluarganya di Paniai yang dari awal telah menolak hadir dalam persidangan Kasus Pelanggaran HAM Paniai 2014 di Pengadilan HAM Makassar tersebut.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy, SH, dalam keterangan tertulisnya pada Kamis 8 Desember 2022 di Manokwari.
Menurut Warinussy, LP3BH Manokwari menilai bahwa putusan Majelis Hakim yang mengadili perkara terdakwa Isak Sattu sudah berhasil mengungkapkan fakta yang menunjukkan bahwa dugaan keras telah terjadi serangkaian tindakan kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity) yang melibatkan beberapa aparat keamanan.
Baca Juga:
Persoalkan Pelanggaran HAM, Anggota TNI Tantang BEM UI KKN di Wilayah KKB
Namun sayang sekali, karena baik majelis hakim maupun juga Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia belum mampu membuktikan siapa komandan lapangan yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Bebasnya terdakwa Isak Sattu semakin menunjukkan kepada kita dan dunia, betapa lemahnya sistem penegakan hukum di bidang perlindungan HAM di Indonesia hingga saat ini.
Sehingga diperlukan segera reformasi hukum di sektor promosi dan perlindungan HAM itu sendiri, ungkapnya.
Langkah utama mesti dimulai dari revisi terhadap UU No. 39 Tahun 1999 dengan melakukan penyesuaian dengan beberapa perkembangan putusan hakim dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua, termasuk kasus Paniai.
Serta pula tentu menyimak beberapa ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang baru saja disahkan dalam sidang DPR RI tanggal 6 Desember 2022 lalu.
Dirinya sebagai Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua mendesak Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss untuk ikut memantau dengan bijak perkembangan penegakan hukum di Indonesia.
Dimana kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua yang hingga kini terlihat sangat sulit bahkan terkesan ikut disulitkan oleh Negara guna memperoleh keadilan bagi Orang Asli Papua secara luas dan khususnya bagi korban-korban dalam kasus Wasior, Wamena, Paniai dan lainnya, demikian Yan Christian Warinussy. [hot]